Launching Buku Sang Penanti

Launching Buku Sang Penanti
City Ice Cream Cafe, Plaza Medan Fair

Rabu, 27 Januari 2010

Minggu, 17 Januari 2010

Senin, 11 Januari 2010

Sabtu, 02 Januari 2010

Lelaki Pelukis Langit (10 Hari yang Indah... 21 - 31 Desember 2009)

Di atas bukit terhampar taman luas yang penuh dengan lily, rose dan jasmine. Di tempat itu setiap hari aku melukis langit, karena bagiku langit itu harapan, langit itu cita-cita. Hampir di sepanjang hidupku aku tak pernah bisa selesai melukis langit. Entahlah, banyak misteri di langit itu dan aku selalu sibuk mencari jawabnya.

Taman luas yang menghijau tiba-tiba mewangi semerbak, cuaca menjadi cerah tapi sinar matahari terasa sejuk menerpa kulit. Dari kejauhan muncul sosok yang membuatku terpana. Sosok itu datang mendekat.

"Selamat pagi, apa kabar?" sapanya lembut dan ramah.

"Aku baik-baik saja, kamu siapa?" tanyaku heran.

"Aku Bidadari..." jawabnya sambil tersenyum.

Ah, bidadari... Diakah perempuan yang turun dari langit, dari surga? Bisakah aku melukis wajahnya? Tapi apalah artinya lukisan kalau dia sudah sempurna seperti ini. Tidakkah lebih baik aku memilikinya saja.

"Bidadari, kenapa kau begitu di inginkan orang-orang?"

"Karena hatiku..."

"Bolehkah aku memiliki hatimu?"

Bidadari terdiam. Dia menatap mataku dalam-dalam.

"Tapi ada syaratnya."

"Sebutkan Bidadari, apa saja syaratnya." aku kegirangan setengah mati.

"Jagalah ini dan jangan buka penutupnya." bidadari itu memberiku sebuah keranjang berbentuk hati terbuat dari emas bertatahkan permata hijau tosca warnanya.

Kuterima keranjang itu dengan hati gembira. Aku tak perlu lagi melukis langit. Sepanjang hari aku hanya bermain dengan bidadari. Terbang melayang mengitari taman di puncak bukit. Bernyanyi di atas awan dan berkejaran di balik pelangi. Ketika senja menjelang kami turun ke taman. Keranjang di tangan kubuka penutupnya. Di dalam kudapati secarik kertas terbuat dari papyrus bertuliskan : BERAPA USIAMU WAHAI LELAKI PELUKIS LANGIT?

Sontak aku terkejut. Bidadari menatapku masih dengan senyum indahnya.

"Jawablah..." lembut suaranya.

"Usiaku seribu tahun, Bidadari..." jawabku malu.

Bidadari terdiam. Aku menyesal telah membuka penutup keranjang. Pastilah bidadari sedih dan kecewa padaku. Perlahan keranjang kukembalikan pada bidadari.

"Kenapa dikembalikan?" tanya bidadari heran.

Tapi keranjang itu telah kuletakkan dipangkuan bidadari. Seketika itu pula bidadari menghilang, raib bersama warna keemasan mentari senja hari. Ingin aku mengejarnya tapi malam datang menjelang. Taman di atas bukit menjadi gelap pekat. Aku terus mencari-cari, memanggil dan menggapai-gapai.

"Kalau kau rindu padaku datanglah ke tempat ini dan lukislah langit dengan hatimu." suara lembut bidadari terdengar jelas tapi terasa jauh tak terjangkau.

"Bagaimana aku bisa melukis langit dengan hatiku bidadari, kau sudah membawanya?"

Tak terdengar jawaban. Aku terus melangkah, mencari-cari dalam sepi sendiri. Bidadari tak akan pernah kembali dan aku semakin renta menuju tiada. *** rqw