Launching Buku Sang Penanti

Launching Buku Sang Penanti
City Ice Cream Cafe, Plaza Medan Fair

Kamis, 15 Januari 2009

Omong Kosong Itu!

Entah dari mana asal mulanya kata-kata bodoh seperti ini.
"Hidup mengalir saja seperti air..."
Aku pun mengaminkan kata itu.
" Ya, jalani saja hidup ini apa adanya. Jangan melawan arus, mengalir saja seperti air."
Hh! Sampai sekarang aku tidak jadi apa-apa, sialan!

Cerpen Anak

Mobil-mobilan dan Persahabatan

Sujo hanya duduk ditepi rumah tetangganya, menyaksikan Temon sahabatnya sedang asyik bermain dengan mobil-mobilan big foot memakai remote control.

Temon begitu terampil memainkan mobil-mobilan itu. Berbelok ke kiri dan kanan, memutar dan berpusing-pusing seperti lomba
slalom test. Suara mobil-mobilan jenis big foot itu terdengar seperti suara deruman mobil sungguhan.

Sujo ikut tenggelam dalam keasyikan bermain meskipun dia hanya sebatas memandang. Ingin sekali dia mengendalikan mobil-mobilan itu. Pasti lebih asyik daripada hanya melihat. Tapi Sujo tak berani meskipun beberapa kali Temon memberinya kesempatan.
Sujo ingat pesan ayah dan ibunya, jangan meminjam meskipun dikasih. Takut kalau-kalau rusak mereka tak bisa menggantinya.

Dari balik jendela, ayah memperhatikan Sujo. Ada perasaan sedih dihatinya. Sejak seminggu lalu Sujo minta dibelikan mobil-mobilan seperti kepunyaan Temon, bahkan dia rela membongkar celengannya yang hanya dua puluh ribu rupiah itu.
"Ayah, ini duit tabungan Sujo. Tambahin ya, yah. Beli mobil-mobilan yang pakai
remote control." ujar Sujo.
"Mobil-mobilan seperti itu harganya tiga ratus ribu, nak. Kalaupun ada yang lebih murah, harganya hampir dua ratus ribu." ayah terlihat bingung.
"Sudahlah, Sujo nabung saja lagi. nanti kalau duitnya sudah cukup baru kita beli." ibu membelai rambut Sujo. Coba menghibur hati anaknya itu.
"Berapa lama, bu?" Sujo terlihat kecewa. Ibu Sujo terdiam. Ayahnya juga.
"Sudah sore, Temon. Ayo, mandi dulu." mama Temon mengingatkan.
"Aku mandi dulu ya, Jo." ucap Temon sambil membawa masuk mobil-mobilannya.

Perlahan Sujo bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan halaman rumah temon. Ketika Sujo masuk ke rumah, ayah pura-pura membaca koran padahal tadi dia memperhatikan Sujo dari balik jendela. Memandang keseberang jalan, ke rumah tetangganya. Rumah pak Hadi, papanya Temon. Disitulah Sujo numpang bermain meskipun cuma melihat-lihat.
"Mandi dulu, Jo. Sudah sore." ibu muncul dari dapur sambil membawa secangkir kopi buat ayah.
"Kasihan anak itu." ujar ayah sambil meraih cangkir kopinya.
"Kita memang tidak punya uang, bang. Kalaupun ada, itu buat belanja dapur dan keperluan sekolah Sujo." ibu Sujo duduk disamping suaminya.

Ayah Sujo hanya seorang Satpam disebuah perusahaan swasta. Penghasilannya pas-pasan untuk menghidupi keluarganya dengan sangat sederhana.
Berbeda dengan Temon. Papanya staf disalah satu bank pemerintah. Gajinya lumayan besar. apa pun yang diinginkan Temon pasti dipenuhi. Apalagi Temon cuma anak satu-satunya.

Pulang sekolah Sujo dikejutkan dengan sebuah mobil-mobilan yang berada diatas meja ruang tamu. Bocah kelas empat sekolah dasar itu coba menyentuhnya. Sebuah mobil-mobilan terbuat dari kayu. Warnanya kuning dan ada garis merah tebal di bagian sampingnya. Bentuknya persis seperti
big foot. Tapi cuma dari kayu dan tak ada remote control-nya.
"Ayah yang belikan." ujar ibu Sujo yang datang tiba-tiba.
"Ayah kan kerja?" sahut Sujo sambil terus memegang mobil-mobilan dari kayu itu.
"Tadi ayah pulang sebentar, waktu istirahat siang." jawab ibu.

Senang juga hati Sujo. Sekarang dia punya mobil-mobilan
big foot. Tapi dia sedikit kecewa karena mainannya ini cuma terbuat dari kayu dan tak bisa jalan sendiri harus didorong. Suaranya kretet... teet... kretet... teet... terdengar seperti suara kaleng.

Memang dibagian bawahmobil-mobilan itu ada semacam bulatan bergerigi terbuat dari kaleng dan sebuah lempengan panjang yang juga terbuat dari kaleng dan ditempelkan disumbu roda bagian belakang.

Kalau mobil-mobilan itu didorong bulatan bergerigi itu menekan lempengan dan terjadi gesekan menimbulkan suara kretet... teet...kretet... teet...
"Nanti setelah tidur siang, kamu boleh bermain dengan Temon." ujar ibu sambil tersenyum.

Sebenarnya ayah ingin sekali membelikan mobil-mobilan
big foot untuk Sujo. Tapi harganya mahal dan ayah tak mampu. Akhirnya ayah berkeliling ke toko-toko mainan mencari kalau-kalau ada mobil-mobilan yang murah dan bentuknya sama dengan kepunyaan Temon.

Tak ada di toko mainan, ayah pergi ke pasar tradisional. Di pasar itulah ayah menemukan penjual mainan yang semuanya terbuat dari kayu. Senang hati ayah ketika melihat sebuah mobil-mobilan berbentuk
big foot. Ayah lalu membelinya dengan harga tiga puluh ribu rupiah

Sekarang Sujo dan Temon sedang asyik bermain. Temon memegang
remote control untuk mengendalikan mobil-mobilannya sedangkan Sujo hanya memegang kayu panjang berbentuk bulat seperti tongkat yang menempel pada bagian belakang mobil-mobilannya. Kretet... teet... kretet... teet... Sujo mendorong mobil-mobilan big foot miliknya mengejar-ngejar mobil remote control kepunyaan Temon. Brum... brum... kretet... teet... brum.... brum... kretet.. teet...

Mobil-mobilan Temon berbelok-belok dan berputar dengan cepat. Sujo terus mengejar-ngejar. Brum... brum... kretet... teet... brum... brum... kretet... teet... mereka terus bermain, tertawa gelak-gelak. Sesekali mereka bertukar mainan. Sujo mengendalikan mobil-mobilan dengan
remote control dan Temon mendorong mobil-mobilan kayu kepunyaan Temon.

Mobil-mobilan mereka berkejar-kejaran. Brum... brum... kretet... teet... brum... brum... kretet... teet... Sujo dan Temon terus bermain. Tak ada yang merasa lebih hebat dari yang lain. Tidak ada yang merasa kurang dari yang lain. Mobil-mobilan harga tiga rartus ribu dan harga tiga puluh ribu itu bisa saling melengkapi. Sujo dan Temon saling berbagi keceriaan. Begitulah indahnya persahabatan. Karena persahabatan itu sejatinya adalah kesediaan berbagi dalam suka mau pun duka***
Analisa Minggu, 13 April 2008