Launching Buku Sang Penanti

Launching Buku Sang Penanti
City Ice Cream Cafe, Plaza Medan Fair

Rabu, 28 Oktober 2009

Cerpen

Puisi-puisi di Bus Stand

Aku masih mengaduk-aduk potongan ayam percik di piring. Angin malam yang terasa lembab menerpa. Aina menatapku dengan teduh. Ah, pandangan seperti ini yang selalu kurindukan darinya. Sudah setahun aku tak bertemu dengannya dan selama ini aku selalu berkomunikasi lewat email atau telpon diapartemennya. Kalau dulu aku datang sebagai petualang, sekarang aku datang khusus menyambangi Aina. Hanya untuk Aina.

Aku dan Aina adalah dua orang pembohong. Kami berbohong untuk tak mau mengakui rasa suka dalam hati masing-masing. Biarlah, rasanya lebih nikmat menyimpan perasaan itu. Aku bisa mengajuk hati semaunya. Meresapi rasa sedih, kecewa, rindu dendam dan cinta bergantian mendera. Cinta itu memang aneh dan tak sama situasinya pada tiap orang.

“Kenapa tak makan lagi?” Aina menegurku pelan. Sedari tadi aku memang belum sedikit pun menyentuh makanan didepanku.

Pelan aku mencomot sepotong kecil ayam percik yang sudah kusuir dengan tangan dan memakannya. Lamat-lamat.

“Tak sedap, ya?” Aina bersuara lagi. Pandangannya masih teduh seperti tadi.

“Enak.” jawabku. Ayam percik itu terasa manis dimulutku.

“Seperti bumbu rujak.” komentarku sambil tersenyum.

Aina tertawa pelan. Dulu juga aku selalu berkata seperti itu. Ayam percik adalah ayam stim yang di siram kuah seperti bumbu rujak. Rujak Penang tentu saja.

“Kalau tak sedap kita cari makanan lain, ya? Pasar malam kat jalan Mashuri masih lagi buka.” Aina menyarankan.

Aku menggeleng dan mencomot sesuir ayam percik dan memakannya.

“Sedap ke tak sedap?” penasaran Aina.

“Kalau tak, order chicken black pepper kat Azeem, ya?” Aina menawarkan pilihan lain.

Dulu, aku selalu menemani Aina berbelanja di pasar malam jalan Mashuri, jalan umum yang di tutup untuk pengendara karena jalan sepanjang seratus meter itu dijadikan ajang jual beli layaknya pasar. Ada pedagang ikan segar, sayur mayur, makanan kering, kue jajan pasar sampai pakaian, aksesoris dan peralatan elektronik. Pasar malam yang di buka sekali dalam seminggu setiap kamis malam. Aina pernah bertanya padaku adakah pasar malam di Medan. Ada jawabku tapi jangan berharap menemukan pedagang ikan dan sayur mayur. Kalau mau naik komedi putar atau melihat tong setan bolehlah. Waktu itu Aina tertawa dan menepuk lenganku.

Sepulang dari pasar malam kami selalu singgah di rumah makan Azeem, jalan Tun Dr. Awang di daerah Bayan Lepas tak jauh dari pasar malam. Kami memilih rumah makan itu karena dekat dengan apartemen BJ. Court, tempat tinggal Aina. Cuma butuh lima menit dengan berjalan kaki. Di rumah makan itu kami cuma memesan nasi putih, tomyam campur dan dua gelas minuman. Asamko es, minuman yang rasanya asam, manis dan sedikit asin beraroma jeruk sitrus. Aku dan Aina sama-sama menyukai minuman itu.

“Apa kabar sekarang, sedari tadi belum cerita sikit pun?” tanya Aina tiba-tiba.

“Aku selalu kirim email, kan?” dalihku.

“Iyalah, tapi semua tu tak sama. Lagi suka bila dengar langsung dari orangnya. Cakaplah, cemana kabar Arif sekarang ni?”

Angin malam kembali bertiup. Aku dan Aina memang suka memilih meja di luar, di bawah langit terbuka dan diterangi cahaya lampu hias rumah makan yang berkejaran dan berkelap kelip indah.

“Masih suka tulis puisi?” kejarnya.

Aku tergugu. Menatap penuh wajah manis Aina. Karena puisi juga aku bisa berkenalan dengannya. Dulu aku sering duduk di bus stand tidak jauh dari apartemen BJ. Court. Memandangi dan mengamati orang-orang yang turun dan naik bus. Berkejaran dengan waktu mencari tujuannya sendiri-sendiri. Aku sering menulis puisi di situ, hanyut dan larut dalam duniaku sendiri. Suatu kali aku di tegur oleh seorang perempuan berkulit putih dan berwajah manis. Dia memakai baju kurung dan bertudung likup. Kutaksir usianya sekitar dua puluh lima, dua puluh enam.

“Maaf, encik. Saya nak kembalikan ini. Pastilah encik tercicir benda ni.” Perempuan itu menyodorkan secarik kertas putih.

Aku menerimanya dan segera menyadari kalau kertas itu bertuliskan puisi yang kutulis lengkap dengan jam, tanggal, bulan dan tahunnya kecuali namaku. Buru-buru kuucapkan terimakasih.

“Maaf, encik nama siapa?” kejarnya.

“Namaku Arif.”

“Saya Noor Aina binti Haji Mohammad Razman, panggillah Aina saja.” ujarnya lembut memperkenalkan nama.

Dia lalu bercerita sering melihatku duduk di bangku bus stand dan menulisi kertas putih. Setiap hari Aina naik bus rapid ke tempat kerjanya di daerah George Town dan secara diam-diam pula dia mengakrabi sosokku. Kemarin pasti dia yang duduk ditempatku setelah aku buru-buru meninggalkan bus stand, membeli rokok dan minuman ke mini market Seven Eleven masih diseputaran bus stand.

Perkenalan itu berlanjut menjadi persahabatan. Kami selalu janji bertemu setiap kamis malam. Aku menemani Aina belanja dan pulangnya kami selalu singgah di rumah makan Azeem. Di setiap kali pertemuan, Aina selalu berkata dia takjub padaku. Buat apa jauh-jauh datang ke Penang hanya untuk menulis puisi. Aku kehilangan Melayu ditempatku sendiri, itu jawabku. Aina tertawa dan geleng-geleng kepala. Katanya di penang etnis Melayu itu minoritas. Tapi nuansa Melayu masih kutemukan di sini. Aku seolah menemukan kembali akar budayaku yang hilang. Hh! Tak Melayu hilang di bumi. Memang tak hilang karena aku menemukannya di negeri ini. Negeri yang katanya suka mengklaim kebudayaan negaraku. Tapi aku merasa hal itu cuma kerjaan pihak ke tiga yang coba mengadu domba. Mereka tak mau melihat rumpun Melayu ini menjadi kuat dan bersatu. Lalu orang-orang kebakaran jenggot, protes dan membakar bendera hingga melakukan sweeping terhadap orang-orang Malaysia. Aku tak mau ikut-ikutan. Bodoh saja pikirku.

“Arif, melamunkan apa?” suara Aina mengejutkanku.

Aku meraih gelas dan mereguk sedikit asamko es.

“Aku rindu sekali tempat ini.” gumamku tanpa memandang Aina.

“Rindukan siapa, ni?” suara Aina kudengar bergetar.

“Semuanya. Suasana pasar malam, rumah makan Azeem, makanannya, minumannya dan kau Aina.”

“Betul ke, Arif rindukan Aina?”

Aku mengangguk. Tak ada gunanya berbohong lagi, seolah-olah aku tak menyukai Aina. Sekarang aku ingin dia juga berhenti membohongi hatinya.

“Arif ingat tak puisi bertajuk sendiri yang Arif tulis tu?”

“Puisi yang dulu tertinggal di bangku bus stand?” tanyaku heran.

“Ya, betul yang tu. Aina minta maaf kerana telah menyalin dan menyimpannya kat note book tanpa minta izin pada Arif. Aina suka sangat puisi tu, ingatkan Arif tulis buat Aina.” ujar Aina lembut.

“Tak perlu minta izin. Aku senang kalau ada orang yang suka puisiku.” jawabku coba meyakinkan perempuan bermata teduh bernama Aina itu.

Wajah manis Aina berhias senyum seketika. Tapi apa yang kemudian terucap dari bibir Aina adalah kata-kata yang mengejutkan hati. Sekarang baru aku tau mengapa selama mengenal Aina, dia tak pernah memakai handphone. Ternyata Aina menggunakan alat pacu dijantungnya. Dokter menyarankan agar Aina tidak menggunakan komunikasi selular karena bisa mengganggu kerja alat pacu yang tertanam dijantungnya.

“Hidup Aina taka lama lagi, Arif.” gumamnya pelan.

“Siapa yang bisa menentukan hidup mati manusia selain Tuhan?” protesku.

Hening sejenak. Aina tertunduk. Aku memandanginya.

“Bila nanti Arif dah balik Medan, sampai dua atau tiga kali email Arif buat Aina tak berbalas itu bermakna Aina dah berpulang.” datar dan tenang suaranya.

Rasanya ingin aku memeluk Aina saat itu. Aku jadi begitu takut kehilangannya.

“Bacakanlah puisi tu sekali saja buat Aina, please…”

“Aku mencintaimu Aina.” ujarku tak berdaya.

“Aina pun cintakan Arif. Dari dulu lagi, mula pertama kita berkenalan.” Aina menatapku teduh. Teduh sekali.

sendiri

diam-diam

aku pun menyerah

tinggalkan riuh gemuruh

hidup seluruh

aku tak lagi hirau

pada semua fana dunia

biarlah sunyi menjadi sepi

mati juga sendiri

Ah, pantaslah Aina berpikir kalau puisiku yang tertinggal di bangku bus stand itu di tulis khusus untuknya. Karena memang aku bercerita tentang mati dan sendiri. Aku paling benci menangis, tapi membacakan puisi untuk Aina tak urung mataku merebak juga. Setelah itu Aina memasangkan cincin yang dikenakannya ke jari tanganku.

“Cinta Aina selamanya…” bisiknya lembut padaku.

Kali ini aku betul-betul menangis.***