Launching Buku Sang Penanti

Launching Buku Sang Penanti
City Ice Cream Cafe, Plaza Medan Fair

Kamis, 26 Februari 2009

Cerita Anak

Matinya Seekor Gajah

Semua penduduk kampung Bukit Barisan gempar dan lari lintang pukang menyelamatkan nyawa serta harta benda sekedar yang bisa mereka bawa. Tengah malam itu puluhan ekor kawanan gajah memasuki kampung dan meluluh lantakkan rumah-rumah dan sawah ladang penduduk. Banyak rumah hancur lebur dan sawah ladang penduduk yang siap panen dirusak kawanan gajah. Penduduk Bukit Barisan tak bisa berbuat apa-apa selain pergi melarikan diri. Malam itu mereka mengungsi ke kota kecamatan, agak jauh dari kampung Bukit Barisan yang berada dipinggir hutan lindung.

“Habis semua tanaman kita, Bu.” Ayah Arif mengeluh.

“Sabarlah, Pak. Pasti masih ada yang bisa kita panen.” Ibu Arif menyabarkan suaminya.

“Kenapa gajah-gajah itu mengamuk ya, Bu?” ujar Ayah Arif lagi.

“Mungkin gajah-gajah itu lapar, Ayah?” Arif bersuara.

Ayah melirik Arif yang berbaring dipelataran kantor kecamatan, ditempat inilah orang-orang kampung mengungsi. Tidur beralaskan tikar dan mengenakan pakaian seadanya tanpa kasur dan bantal. Hari masih gelap, baru pukul dua dini hari. Beberapa orang polisi dan hansip kecamatan dengan mengandarai mobil dan sepeda motor pergi meninjau kampung Bukit Barisan. Mereka ingin memastikan keadaan dan menilai seberapa parah kerusakan disebabkan oleh kawanan gajah-gajah yang mengamuk itu.

“Kita harus membalas perbuatan binatang bodoh itu!” ujar Pak Maksum marah.

“Bagaimana caranya Pak Maksum?” tanya Pak Bandi yang duduk disudut pelataran bersama istri dan anak-anaknya.

“Kita bikin lubang pernagkap. Tak perlu banyak-banyak, cukup beberapa saja. Kalau ada satu atau dua ekor saja yang tertangkap, binatang-binatang itu tak akan berani lagi menyerang kampung kita.” Pak Maksum menyampaikan idenya dengan sombong.

“Gajah-gajah itu ngamuk karena lapar, Wak Maksum.” ujar Arif tiba-tiba.

Pak Maksum terkejut dan menoleh pada Arif.

“Kamu anak kecil tahu apa, Rif?”

“Darimana kau tahu kalau gajah-gajah itu lapar?” tanya Pak Bandi sambil tertawa. Orang-orang kampung yang lain ikut-ikutan tertawa.

“Iya nih, si Arif. Ada-ada saja.” Bu Mimin, istri Pak Bandi tersenyum.

“Hutan kita ditebangi, jadi gajahnya marah.” ucap Arif lagi.

“Ah, sudahlah. Tadi kamu bilang binatang bodoh itu lapar, sekarang marah karena hutan ditebangi.” Pak Maksum tampak kurang senang sebab selama ini dia termasuk orang yang dibayar oleh pengusaha dari kota untuk mencuri kayu dari hutan lindung.

“Kalau hutan rusak digunduli, hewan-hewan itu makan apa?” tanya Arif berani.

“Ya, makan jagung hibrida di ladang kita.” sindir Ayah Arif. Pak Maksum merengut mendengarnya.

“Siapa yang mau ikut membuat perangkap?” tanya Pak Maksum pada orang-orang kampung.

Ada yang bersedia ikut dan ada pula yang menyerahkan persoalan itu pada Pak Lurah dan Pak Camat. Terserah jalan apa yang akan ditempuh oleh pemerintah untuk mencegah agar kawanan gajah tak kembali mengamuk. Di dalam hatinya Arif tak setuju kalau gajah-gajah itu diperangkap. Itu sama saja dengan membunuh, bukankah hewan-hewan itu harus dilindungi dari kepunahan?

Seminggu kemudian penduduk kampung Bukit Barisan diperbolehkan kembali setelah pemerintah daerah turun tangan membantu membangun pemukiman sementara. Setelah meninggalkan pengungsian, Pak Maksum dan beberapa orang penduduk menggali lubang perangkap dipinggir kampung dan menancapkan bambu-bambu runcing didasar lubang sedalam tiga meter itu.

Hampir sebulan sejak diserang kawanan gajah, penduduk kampung Bukit Barisan sudah berbenah. Mereka hampir-hampir melupakan kejadian itu dan kembali sibuk menggarap sawah dan ladang masing-masing. Pak Maksum dan beberapa orang kawannya masih terus mencuri kayu dari hutan lindung dan tak ada yang berani mencegahnya. Penduduk kampung lebih memilih diam dan tak mau ikut campur.

Pagi itu penduduk kampung yang sedang bekerja di sawah ladang mereka dikejutkan oleh suara kentongan dari pinggir kampung yang berbatasan dengan hutan lindung. Para penduduk bergegas mendatangi asal suara kentongan itu. Ternyata di sana sudah ada Pak Maksum dan beberapa orang kawannya sedang membantai seekor gajah yang masuk dalam lubang perangkap. Melihat penduduk kampung datang berbondong-bondong, Pak Maksum menghentikan pukulan kentongannya.

“Kalian lihat, binatang bodoh ini coba memasuki kampung kita. Untung saja kami membuat lubang perangkap. Kalau tidak?” Pak Maksum membanggakan diri.

Gajah yang terperangkap itu terbenam sebagian tubuhnya dan tertusuk oleh bambu-bambu runcing yang tertanam didasar lubang. Meski sudah tak berdaya , gajah itu masih saja dihujani tusukan tombak oleh Pak Maksum dan kawan-kawannya.

Arif yang baru pulang sekolah siang itu mendengar dari Ibunya tentang tertangkapnya seekor gajah. Bergegas dia menuju ladang dan meminta ijin pada Ayah untuk melihat keadaan gajah yang malang itu. Ayah tak kuasa menolak dan membawa Arif menuju pinggir kampung.

“Gajah itu masih hidup, Ayah?” tanya Arif sedih.

“Tadi Ayah lihat masih hidup, tidak tahu kalau sekarang.”

“Dia pasti kesakitan.” gumam Arif pelan.

Sesampainya ditempat gajah terperangkap, Arif tak dapat berkata-kata lagi. Dia melihat seekor gajah terbenam dalam perangkap. Hewan malang itu masih bisa bertahan hidup meski tubuhnya dipenuhi luka oleh tusukan tombak dan setiap kali bergerak, hewan berbadan besar itu mengerang kesakitan karena bambu-bambu runcing yang ditanam didasar lubang terhunjam keperutnya. Arif mendekat dan memberanikan diri membelai kepala gajah. Gajah itu memandang Arif dan meneteskan air mata. Tak lama kemudian sang gajah terkulai, diam tak bergerak dan matanya terpejam. Arif menangis. Menangisi kematian hewan berbadan besar itu. Dalam hati Arif berjanji, kelak dewasa dia akan berjuang untuk melindungi hutan dan hewan-hewan didalamnya. Bila hutan dan hewan punah maka terputuslah mata rantai kehidupan di dunia ini. Itu tak boleh terjadi. Arif bersumpah dalam hati***

Rabu, 18 Februari 2009

Emang Udah Nasib...

Menangislah untuk bangsa dan negara yang tak kunjung sejahtera!

Puisi

Celana Koyak

Memang dasar kau tak punya malu
merayu-rayu aku ketika perlu
lantas
setelah kuberikan suara untukmu
dan mengantarkan kau duduk bertahta diraja
lalu kau tinggalkan aku
dengan celana koyak yang berlubang di pantat!