Launching Buku Sang Penanti

Launching Buku Sang Penanti
City Ice Cream Cafe, Plaza Medan Fair

Jumat, 17 April 2009

Cerpen Remaja

Juhri dan Jasmine
Oleh: Onet Adithia

Siapa sih yang enggak tertarik sama Jasmine, cewek tetangga sebelah? Pertanyaan itu selalu saja berkecamuk di kepal Juhri, cowok bertampang culun yang sudah putus sekolah sejak kelas empat sekolah dasar
. Pokoknya setiap hari hanya Jasmine saja yang ada yang dipikirannya. Pagi-pagi sebelum Jasmine pergi sekolah, Juhri sudah menunggu di balik pagar rumahnya. Apa lagi kalu bukan mau melihat Jasmine lewat?
"Juhriiii...!" suara ibuya Juhri menggelegar.
"Ya, Maaak....?"
"Anak kambingmu nyebur ke kolam!"

Jangkrik! Juhri menyumpah dalam hati. Padahal sebentar lagi waktunya Jasmine lewat. Juhri ingin bergegas menolong anak kambingnya itu, tapi baru saja dia ingin melangkah, Jasmine sudah melintas di depan rumah. Memakai seragam putih abu-abu sambil menyandang ransel dipunggungnya. Alamak! Cantik nian...! Juhri kembali mengendap di balik pagar rumahnya yang terbuat dari bilah-bilah bambu. Dia berjongkok di gerombolan bunga-bunga pagar.
"Juhriii...!" suara ibunya terdengar lagi.

Juhri ingin menyahuti ibunya tapi dia takut ketahuan sama Jasmine kalau lagi mengintai. Akhirnya dia memutuskan untuk diam saja dan menatap Jasmine yang melintas tanpa berkedip. Waaah... makin hari, makin tambah cakep aja si Jasmine. Bisik hati Juhri.Kalau orang Betawi bilang: Mingkin botoh aja lu! Juhri menelan ludah, ngiler banget!
"Juhri!" ibunya muncul tiba-tiba.

Sontak Juhri berdiri kaget. Bersamaan dengan itu Jasmine menoleh kearahnya. Cewek itu tersenyum. Juhri jatuh semaput.
"Eh, Juhri! Anak kambingmu masuk kolam!" ibunya terlihat panik. Kalau sampai mati, kan nggak jadi duit itu kambing?

Tapi Juhri sudah keburu semaput. Nggak nyangka dia bakal disenyumin kayak gitu sama Jasmine. Cewek yang baru dua bulan ini pindah kekampungnya dan tinggal beberapa rumah dari tempat tinggalnya Juhri. Meski baru dua bulan tapi Jasmine sudah merajai hati Juhri , mengisi mimpi-mimpinya dan menguasai setiap jengkal pikiran cowok culun yang nggak sekolah itu. Oh, Jasmine sayang! Kaulah cinta pertama dan terakhir bagiku. Juhri betul-betul kasmaran setengah mati.
He... he... he...

Juhri memang bengal, dari kecil sukanya cuma main. Sekolah saja, kalau tak dipecut pakai rotan dia tak bakalan jalan. Seperti paku. Kalau tidak digetok dulu, tak bakalan nancep! Meskipun bapak dan ibunya sudah setengah mati memaksanya, Juhri cuma tahan sampai kelas empat sekolah dasar. Dia bilang orang pintar dikampungnya sudah banyak, tapi orang kayanya masih sedikit. Juhri memilih jadi orang kaya saja, dia tak mau jadi orang pintar. Makanya setelah lagi, Juhri getol banget ngangon kambing, ngurusin ayam-ayam dan beternak ikan lele di kolam belakang rumah. Katanya dia mau jadi konglomerat seperti Edy Tansil. Buset emang Juhri! Padahal Edy Tansil tak ngetop lagi, kan?
"Jadi kalau tak mikirin kambing , kau mikirin apa?" tanya ibunya Juhri sambil membuang air bekas cucian dari ember.
"Mamak nggak ngerti. Ini urusan anak muda!" jawab Juhri cuek.
"Oalah, Juhri, Juhri...! Mamak ini sudah kenyang makan asam garam. Kau jangan anggap enteng sama Mamak!" balas ibu Juhri dengan senyum cemprengnya.
"Mamak pernah jatuh cinta?" tanya Juhri bodoh.

Anak sontoloyo! Ibu Juhri ngomel dalam hati. Dipandanginya Juhri lekat-lekat. Ah, tak terasa memang. Sekarang Juhri sudah berangkat remaja. Usianya sudah tujuh belas tahun. Seharusnya dia sudah kelas tiga SMA dan sebentar lagi tamat. Anak seusia dia memang lagi kemaruk-kemaruknya jatuh cinta. Ibu Juhri tersenyum sendiri.
"Kenapa senyum-senyum, Mak?" Juhri keheranan.
"Kalau Mamak nggak jatuh cinta, Mamak nggak kawin dan kau nggak pernah lahir, Juhri!"
"Juhri juga sedang jatuh cinta, Mak!"
"Jatuh cinta? Sama siapa?" ibu Juhri meletakkan ember cucian yang dipegangnya.
"Jasmine." ucap Juhri malu-malu.
"Jasmine anak wak Badrun?"

Ibu Juhri merenung. Jasmine itu memang lahir di kampung ini, tapi sejak usianya setahun dia dibawa ke kota dan diasuh oleh makciknya. Setelah remaja prilaku Jasmine sangat mengkhawatirkan wak Badrun. Jasmine lebih suka hura-hura. Ke diskotik, nongkrong di cafe dan suka pulang malam. Karena takut akan keselamatan masa depan putrinya , wak Badrun meminta Jasmine dipulangkan ke kampung. Biar Jasmine hidup sederhana dan tidak tercemar budaya hedonisme orang-orang kota. Begitulah, meskipun dengan susah payah akhirnya wak Badrun berhasil memulangkan Jasmine kepangkuannya.
"Mana mau si Jasmine sama kau yang bodoh!" ibu Juhri mematahkan semangat anaknya itu.
"kenapa pulak Mamak bilang aku bodoh?!" Juhri tersinggung dibilang bodoh.
"Apa namanya kalau bukan bodoh, sekolah cuma sampai kelas empat?" tanya ibu Juhri sambil mencibir.
"Mamak sendiri cuma sampa kelas tiga!" jawab Juhri tak mau kalah.

Ibu Juhri terbodoh. Oh, anak setan! Pintar juga dia berdebat. Omel ibu Juhri dalam hati. Sebetulnya dia suka juga melihat Jasmine. Anaknya cantik dan mau sekolah. Tapi apa iya, Jasmine mau jadi menantunya? Ibu Juhri merenung.
***
Ketika rindu dendam sudah tak tertahankan lagi. Saat perasaan suka itu telah mengharu biru hatinya, Juhri menulis sepucuk surat. Menyatakan isi hati, rasa kagum dan kecintaanya pada Jasmine. Dia tidak mau tau kalau tulisannya cakar ayam. Hurup besar sama hurup kecil campur aduk. Bagi Juhri tulisannya itu hanya perantara saja, yang terpenting adalah isi hatinya.

Dengan memberikan upah seribu perak, Juhri menugaskan Boncel, adiknya yang masih berusia tujuh tahun sebagai kurir, mengantarkan surat ketangan Jasmine dengan cepat dan selamat. Setelah itu Juhri pun berharap-harap cemas. Apa yang jadi jawaban cewek itu nanti? Oh, Jasmine...
ai lap yu! Apakah yu lap mi? Juhri melambungkan angan-angannya setinggi langit

"Juhri!" ibunya Juhri nongol di pintu kamar.
"Ya, Mak?!" Juhri kaget dan melompat dari tempat tidurnya.
"Ada apa, Mak?!" tanya Juhri ketika dia melihat ibunya sudah berdiri di ambang pintu kamar.
"Ada Jasmine, tuh! Nunggu disamping rumah!" ujar ibu Juhri gelagapan.
"Jasmine?!" Juhri kaget. Matanya melotot.

Dengkul Juhri menggeletar. Jantungnya empot-empotan. Hebat juga si Boncel, surat itu pasti sudah sampai ke tangan Jasmine. Nah, sekarang buktinya cewek itu datang nyamperin? Gumam Juhri dalam hati.

Perlahan Juhri melangkah keluar kamar. Di halaman samping di bawah pohon rambutan, Jasmine duduk di bangku kayu, tempat biasa Juhri nongkrong sambil melamun.
"Hai!" sapa Jasmine ketika melihat Juhri datang menghampirinya.

Juhri cuma tersenyum. Jantungnya gedebak-gedebuk, badannya keringatan. Nggak nyangka bakal disamperin sama Jasmine seperti ini. Duh, mana wangi lagi dia. Hidung Juhri sampai kembang kempis mengendus-endus.
"Kamu yang nulis surat ini, ya?" tanya Jasmine lembut.

Mendengar pertanyaan Jasmine, jantung Juhri semakin berdebar kencang. Cowok culun itu garuk-garuk kepala sambil nyengir.

"Be.. be.. betul..." jawab Juhri gugup.
"Dikirim untuk aku?" tanya Jasmine lagi.
"Ya, untuk... untuk... kamu." kaki Juhri makin menggeletar.

Baginya ini pertaruhan hidup dan mati. Memiliki Jasmine adalah sesuatu yang terindah dalam hidupnya dan kalau sampai gagal, Juhri merasa bakal kehilangan separuh napasnya. He... he... he...
"Tapi aku nggak bisa bacanya." ujar Jasmine lembut. Hampir tak kedengaran.
Juhri terperangah.
"Kamu nggak bisa baca?!"

Oalah! Jadi dia sekolah sampai SMA ini ngapain aja? Juhri nyengir. Masih mending aku kalau gitu. Gumam Juhri dalam hati.
"Abis, tulisanmu cakar ayam begini!" lanjut Jasmine.

He... he... he... wajah Juhri merah padam. Malu hati dia. Rasanya Juhri mau lari ke kutub utara untuk sembunyikan wajah culunnya itu. Tapi kakinya tak bisa bergerak. Malu banget dibilang tulisannya cakar ayam.
"Kamu mau aku ajarin nulis?" tawar Jasmine pada Juhri.
"Mau..." jawab Juhri pasrah. Habis, mau apalagi?

Biarin deh, besok-besok kalau aku sudah bisa nulis yang bagus, aku akan mengirim surat cinta lagi untuknya. Tekad Juhri dalam hati. Apalagi yang kurang? Tulisan bagus, punya kambing lagi . Ha... ha... ha...
Yang nggak punya kambing ngiri, tuh! ***

Taman Remaja Pelajar, Analisa Minggu, 15 Juni 2008







Jumat, 10 April 2009

Mimpi Aisha

Aisha menatap dari jendela rumah papan yang amat sederhana itu. Setiap pagi dia mengantar kepergian ayahnya bekerja, setelah ayah menghilang dari pandangan, Aisha masih duduk menatap dari balik jendela. Aisha tidak sekolah karena orang tuanya tidak mampu menyekolahkannya. Ayah Aisha cuma buruh bangunan dan ibunya seorang buruh cuci di rumah tetangga.

Sebetulnya Aisha punya keinginan kuat untuk sekolah tapi karena ketiadaan biaya akhirnya Aisha hanya belajar baca tulis dari ayah atau ibunya yang cuma tamat sekolah dasar. Tapi meski pun begitu sekarang Aisha sudah bisa sekedar baca tulis.

“Aisha, mamak pergi dulu, ya?” ibu Aisha meletakkan sepiring makanan dan secangkir air putih di dekat Aisha.

Seperti biasanya Aisha cuma tersenyum. Ibunya mencium kepala Aisha dan beranjak pergi meninggalkan rumah untuk bekerja sebagai buruh cuci di rumah tetangganya.

“Hati-hati di rumah ya, nak?” pesan ibunya sebelum menutup pintu.

Aisha memandang kepergian ibunya sambil melambaikan tangan. Anak perempuan berusia delapan tahun itu masih tersenyum. Keadaan susah tidak membuatnya bersedih apalagi sampai putus asa. Dia ingat betul petuah yang selalu diucapkan ayah dan ibunya bahwa Tuhan itu maha pengasih dan penyayang. Aisha merasakan kebenaran dalam kata-kata itu. Meski keluarganya miskin tapi rumah mereka dipenuhi dengan kasih sayang dan kehangatan. Tuhan memang tidak memberi orang tua Aisha harta benda tapi Tuhan memenuhi hati mereka dengan perasaan kasih dan kesabaran yang luar biasa.

Aisha masih duduk dibalik jendela, memandang ke langit yang bersih tanpa awan. Semilir angin pagi menerpa wajah Aisha yang penuh dengan senyum, gambaran dari kebersihan hatinya. Puas memandangi langit, Aisha beringsut sedikit menggapai makanan yang terletak didekatnya. Cuma sepiring nasi putih, ikan asin goreng dan kerupuk. Aisha tersenyum lagi. Ini rezeki dari Tuhan bisik Aisha dalam hati. Dia bersyukur masih bisa makan meski seadanya, sementara di tempat lain ada orang yang mati kelaparan.

Selesai makan Aisha masih duduk di balik jendela. Tak ada lagi yang bisa dilakukannya selain memandang keluar rumah. Melihat orang-orang yang lewat di gang kecil depan rumah atau menatap ayam dan kucing tetangga yang melintas di halaman. Tapi diantara semua itu, Aisha lebih suka memandang langit. Baginya langit itu menyimpan daya tarik yang luar biasa. Langit itu harapan, langit itu cita-cita. Aisha ingin terbang ke langit. Menari di antara awan, bulan, bintang dan matahari.

Agak siang sedikit, ibunya pulang ke rumah. Mencuci pakaian, piring kotor dan memasak. Aisha tak membantu, kali ini dia merebahkan diri di dipan kayu yang diletakkan di dekat jendela. Ketika selesai masak, ibunya menyuapi Aisha makan. Siang ini menunya agak istimewa, ada tumis kangkung dan telur dadar.

“Kita makan enak hari ini, mak?” tanya Aisha gembira.

“Iya, tadi mamak baru terima gaji. Jadi mamak bisa masak enak.” ibu Aisha tersenyum

Selesai makan disuapi ibunya, Aisha kembali merebahkan tubuhnya di dipan kayu. Mendengarkan ibunya mendongeng hingga akhirnya dia tertidur. Tuhan itu maha pengasih dan penyayang bisik ibunya ke telinga Aisha sebelum beranjak pergi meninggalkan anaknya itu dan kembali ke rumah majikannya untuk menyeterika pakaian yang dicucinya tadi pagi. Sedangkan Aisha lelap dalam kedamaian hatinya.

Sore hari ayah pulang kerja, Aisha melambai-lambaikan tangannya dari balik jendela menyambut kepulangan sang ayah. Kini mereka berkumpul lagi setelah seharian ayah sibuk bekerja mencari nafkah. Aisha sangat bahagia berada di tengah-tengah orang tuanya. Selama ini merekalah orang-orang yang dekat dengan Aisha. Tak ada yang lain, tak ada sahabat. Meski sebenarnya dia ingin keluar rumah dan bermain dengan anak tetangga. Tapi Aisha cuma jadi bahan olok-olok anak tetangga disekitar rumah, akhirnya dia lebih memilih tinggal di rumah saja.

Malam hari setelah makan, ayah dan ibu berbincang serta bercengkerama dengan Aisha. Mereka tertawa bahagia. Kemiskinan tidak membuat mereka bersedih. Bahagia itu adanya di hati bukan dalam harta benda. Kalau hati kita lapang, kesusahan seberat apa pun tak akan terasa berat. Ayah dan ibu Aisha selalu menanamkan petuah-petuah bijak ke dalam hati anaknya itu.

”Sudah mengantuk, Aisha?” tanya ayah dengan lembut.

Aisha mengangguk.

“Aisha ingin tidur dan bermimpi indah.” ujarnya pelan.

Ayah lalu menggendong Aisha masuk ke dalam kamar yang sempit dan membaringkan anaknya itu di kasur tipis. Aisha memang tidak bisa berjalan. Sejak usia setahun kaki Aisha tidak tumbuh secara normal. Dokter mengatakan Aisha terkena polio. Tulang kakinya mengecil dan tak bisa berfungsi. Aisha lumpuh sejak kecil. Karena ketidaktahuan orang tuanya, sejak lahir Aisha tidak diberikan oral poliomyelitis vaksin yaitu vaksin tetes untuk mencegah penyakit polio atau lumpuh layu.

“Tidurlah, sayang..” ujar ayah lembut sambil membelai kepala Aisha.

“Terima kasih, ayah.” Aisha tersenyum.

“Aisha ingin mimpi apa nanti?” tanya ayah.

“Terbang ke langit.” jawab Aisha senang.

“Berdoalah supaya Tuhan memberikan mimpi indah malam ini.” ujar ayah lagi.

Aisha tersenyum memandang ayah. Ayah beranjak keluar dari kamar, dia berharap anaknya bermimpi indah malam ini. Bukankah Tuhan pemilik kehidupan yang nyata dan gaib?

“Ya, Rabb… ya, Tuhanku. Engkau maha pengasih dan penyayang . Maka kasihi dan sayangilah ayah dan emak sebagaimana mereka mengasihi Aisha. Ya, Rabb… malam ini Aisha ingin bermimpi terbang ke langit. Kabulkan, ya? Amin…” setelah berdoa Aisha pun memejamkan matanya.

Doa dari bibir mungil Aisha yang selalu bersabar dalam cobaan yang berbentuk penderitaan itu, juga turut diaminkan oleh ribuan malaikat penjaga langit. ***





Jumat, 03 April 2009

Cerita Anak

Aina dan Amira

Aina dan Amira adalah dua gadis cilik yang ditakdirkan lahir sebagai kembar identik. Semuanya nyaris sama, dari bentuk wajah, warna kulit juga sifatnya. Kalau Aina suka pada warna biru, Amira pun begitu. Bila Aina merasa sedih atau gembira, Amira juga ikut merasakannya. Mereka seolah satu walau dalam wujud yang terpisah. Sejak dari buaian sampai berusia tujuh tahun sekarang ini, mereka tak pernah berjauhan. Disekolahpun mereka selalu duduk sebangku.

Papa dan Mama sangat sayang pada Aina dan Amira begitu juga dengan teman-teman disekolah serta para tetangga. Karena bagi mereka anak kembar itu menarik. Aina dan Amira kerap membuat orang-orang yang melihatnya terpukau bahkan kadang-kadang nyaris terpedaya. Mana Aina dan mana yang Amira? Semuanya nyaris sama, kalau bicara suara mereka juga terdengar serupa. Hanya Mama dan Papa saja yang bisa mengenali mereka secara pasti. Itupun kalau tanda lahir dipangkal lengan Aina kelihatan, kalau tidak Mama dan Papa juga sedikit kesusahan membedakan kedua putri kembarnya itu.

Pernah Mama menerapkan peraturan agar Aina dan Amira tidak memakai pakaian yang sama mode dan warnanya serta merubah bentuk rambut mereka. Aina berambut pendek sedangkan Amira berambut panjang dan berponi. Tapi kedua anak kembar itu protes dan tak mau dibedakan satu sama lainnya. Karena Mama memaksa terus akhirnya Aina dan Amira jatuh sakit. Tubuh mereka panas tinggi sehingga membuat Mama jadi kalang kabut. Papa yang sedang berada dikantor terpaksa dipanggil pulang.

Sejak saat itu Mama tidak punya keinginan lagi untuk merubah penampilan Aina dan Amira agar terlihat beda. Ini memang sudah ketentuan dari sang pencipta, bisik Mama dalam hati. Bersyukur saja dan terima apa adanya. Mama tak merasa keberatan meskipun sedikit kesusahan mengenali kedua putri kembarnya itu. Mana Aina dan mana yang Amira?

“Masa sih, Jeng Lilis tidak bisa membedakan anak sendiri?” tanya Bu May tetangga sebelah rumah.

“Memang saya tidak bisa, Bu May. Meski naluri seorang Ibu hampir selalu benar tapi hal itu tak berlaku pada saya. Kalau mereka dihadapkan berdua, saya perlu waktu untuk mengenalinya. Itupun kadang-kadang salah. Saya pikir Aina, eh nggak taunya Amira.” Mama tersenyum mengakui kelemahannya.

“Jadi bagaimana cara Jeng Lilis mengenali mereka secara pasti?” tanya Bu May lagi.

“Saya panggil namanya. Siapa yang datang berarti dialah orangnya.” jawab Mama jujur.

“Kalau mereka datang berdua?” kejar Bu May penasaran.

“Saya sudah bikin peraturan. Siapa yang dipanggil dia yang harus datang.” Jawab Mama terus terang.

“Kalau mereka berbohong dan bertukar tempat, bagaimana? Dipanggil Aina tapi yang datang Amira?” selidik Bu May.

“Setahu saya mereka tak pernah begitu, Bu May. Atau kalau saya merasa tidak yakin, saya minta diperlihatkan tanda lahir dipangkal lengan mereka. Kalau ada bulatan kecil berwarna biru, itu berarti Aina dan kalau tidak ada dialah Amira.” urai Mama panjang lebar.

“Agak repot juga ya, Jeng?” Bu May meringis.

“Ya, tapi saya senang punya anak kembar. Mereka membuat saya semakin takjub pada kekuasaan Tuhan.” senyum Mama mengembang.

Selagi Mama dan Bu May berbincang diberanda, Amira melintas dari halaman samping menuju pintu gerbang rumah.

“Mau kemana, Aina?” tegur Mama.

“Aina dikamar, Ma. Ini Amira.”

Mendengar jawaban itu Bu May tertawa. Mama cuma senyum-senyum saja.

“Ya, Amira mau kemana?” tanya Mama lagi.

“Ke mini market depan, Ma. Beli stabilo untuk sekolah.” Jawab Amira.

“Ya, sudah.Hati-hati nyeberang jalan.” Mama mengingatkan.

Setelah Mama melupakan keinginannya untuk mencari perbedaan diantara Aina dan Amira, disaat itu pula Mama menemukan sesuatu yang selama ini luput dari perhatiannya. Ternyata ditengah kesulitan, Tuhan memberikan kemudahan. Sekali lagi Mama merasakan betapa Tuhan itu maha bijaksana dan tak mau mempersulit hambaNya. Kejadian itu terjadi pagi tadi ketika Aina minta bantuan Mama untuk menguncir rambutnya dengan memasang pita.

“Nah, kalau begini Aina tambah cakep kan, Ma?” Aina tersenyum setelah Mama selesai menguncir rambutnya.

Saat itu Mama melihat dengan jelas ada lesung pipi disebelah kanan pipi Aina, tapi dibagian sebelah kiri tidak ada. Jadi lesung pipi Aina cuma sebelah.

“Ma, rambut Amira dikuncir juga, ya?” Amira datang dengan tergesa.

Mama memperhatikan wajah Amira dengan seksama.

“Kenapa, Ma?” tanya Amira heran karena dipandangi seperti itu.

“Tidak apa-apa, sini Mama kuncir rambutnya.” Mama meraih pundak Amira.

Setelah selesai dikuncir, Amira tersenyum pada Mama.

“Terima kasih Mama.”

Mama terperangah. Kali ini dia melihat ada lesung pipi disebelah kiri pipi Amira. Sama seperti Aina, lesung pipi Amira juga cuma sebelah. Mama melihat lesung pipi Aina disebelah kanan sedangkan Amira disebelah kiri.

“Subhanallah!” gumam Mama merasa takjub.

“Kenapa, Ma?” tanya Aina dan Amira serempak.

“Tidak apa-apa, sayang.” Mama memeluk kedua putri kembarnya itu dengan perasaan haru dan bahagia.

Ketika Mama membicarakannya pada Papa, lelaki itu tersenyum senang tapi matanya berkaca-kaca. Berulang kali dia mengucap syukur dalam hati.

“Itulah kekuasaan Tuhan yang selama ini luput dari perhatian kita.” ujar Papa penuh kearifan.

Tuhan memang tak pernah memberatkan dan menyusahkan hambaNya. Ditengah kesulitan Mama dan Papa untuk mengenali dan membedakan kedua putri kembarnya, Tuhan yang maha pengasih dan penyayang itu memberikan kemudahan pada mereka untuk memastikan mana Aina dan mana yang Amira, melalui lesung pipi yang masing-masing cuma sebelah. Aina di kanan dan Amira di kiri. Ternyata semakin tumbuh besar, wajah kedua putri kembar itu semakin terbentuk dan menampakkan perubahan dengan munculnya lesung pipi yang mungkin selama ini belum terlihat.

“Mama repot punya anak kembar seperti kami, ya?” tanya Aina malam itu ketika Mama mengantarkan mereka pergi tidur.

“Kenapa Aina tanya begitu?” Mama heran mendapat pertanyaan seperti itu.

“Karena Mama kesusahan mengenali kami, kan?” timpal Amira.

“Tidak sayang, kalian terlihat sama tapi ada juga bedanya. Mungkin selama ini luput dari perhatian Mama dan Papa atau karena memang baru muncul sekarang.” jawab Mama sambil tersenyum.

“Apa bedanya, Ma?’ tanya Aina penasaran.

“Kalian masing-masing punya lesung pipi tapi cuma sebelah. Aina di kanan dan Amira di kiri.” ujar Mama menerangkan.

Aina dan Amira saling pandang. Mereka seperti bercermin. Bagai pinang dibelah dua. Tuhan memang sang pencipta yang serba maha dan tak ada yang mustahil bagiNya. Anak kembar itu adalah bentuk anugerah yang dilipat gandakan olehNya. Maka berbahagialah…***