Oleh: Onet Adithia
Siapa sih yang enggak tertarik sama Jasmine, cewek tetangga sebelah? Pertanyaan itu selalu saja berkecamuk di kepal Juhri, cowok bertampang culun yang sudah putus sekolah sejak kelas empat sekolah dasar. Pokoknya setiap hari hanya Jasmine saja yang ada yang dipikirannya. Pagi-pagi sebelum Jasmine pergi sekolah, Juhri sudah menunggu di balik pagar rumahnya. Apa lagi kalu bukan mau melihat Jasmine lewat?
"Juhriiii...!" suara ibuya Juhri menggelegar.
"Ya, Maaak....?"
"Anak kambingmu nyebur ke kolam!"
Jangkrik! Juhri menyumpah dalam hati. Padahal sebentar lagi waktunya Jasmine lewat. Juhri ingin bergegas menolong anak kambingnya itu, tapi baru saja dia ingin melangkah, Jasmine sudah melintas di depan rumah. Memakai seragam putih abu-abu sambil menyandang ransel dipunggungnya. Alamak! Cantik nian...! Juhri kembali mengendap di balik pagar rumahnya yang terbuat dari bilah-bilah bambu. Dia berjongkok di gerombolan bunga-bunga pagar.
"Juhriii...!" suara ibunya terdengar lagi.
Juhri ingin menyahuti ibunya tapi dia takut ketahuan sama Jasmine kalau lagi mengintai. Akhirnya dia memutuskan untuk diam saja dan menatap Jasmine yang melintas tanpa berkedip. Waaah... makin hari, makin tambah cakep aja si Jasmine. Bisik hati Juhri.Kalau orang Betawi bilang: Mingkin botoh aja lu! Juhri menelan ludah, ngiler banget!
"Juhri!" ibunya muncul tiba-tiba.
Sontak Juhri berdiri kaget. Bersamaan dengan itu Jasmine menoleh kearahnya. Cewek itu tersenyum. Juhri jatuh semaput.
"Eh, Juhri! Anak kambingmu masuk kolam!" ibunya terlihat panik. Kalau sampai mati, kan nggak jadi duit itu kambing?
Tapi Juhri sudah keburu semaput. Nggak nyangka dia bakal disenyumin kayak gitu sama Jasmine. Cewek yang baru dua bulan ini pindah kekampungnya dan tinggal beberapa rumah dari tempat tinggalnya Juhri. Meski baru dua bulan tapi Jasmine sudah merajai hati Juhri , mengisi mimpi-mimpinya dan menguasai setiap jengkal pikiran cowok culun yang nggak sekolah itu. Oh, Jasmine sayang! Kaulah cinta pertama dan terakhir bagiku. Juhri betul-betul kasmaran setengah mati. He... he... he...
Juhri memang bengal, dari kecil sukanya cuma main. Sekolah saja, kalau tak dipecut pakai rotan dia tak bakalan jalan. Seperti paku. Kalau tidak digetok dulu, tak bakalan nancep! Meskipun bapak dan ibunya sudah setengah mati memaksanya, Juhri cuma tahan sampai kelas empat sekolah dasar. Dia bilang orang pintar dikampungnya sudah banyak, tapi orang kayanya masih sedikit. Juhri memilih jadi orang kaya saja, dia tak mau jadi orang pintar. Makanya setelah lagi, Juhri getol banget ngangon kambing, ngurusin ayam-ayam dan beternak ikan lele di kolam belakang rumah. Katanya dia mau jadi konglomerat seperti Edy Tansil. Buset emang Juhri! Padahal Edy Tansil tak ngetop lagi, kan?
"Jadi kalau tak mikirin kambing , kau mikirin apa?" tanya ibunya Juhri sambil membuang air bekas cucian dari ember.
"Mamak nggak ngerti. Ini urusan anak muda!" jawab Juhri cuek.
"Oalah, Juhri, Juhri...! Mamak ini sudah kenyang makan asam garam. Kau jangan anggap enteng sama Mamak!" balas ibu Juhri dengan senyum cemprengnya.
"Mamak pernah jatuh cinta?" tanya Juhri bodoh.
Anak sontoloyo! Ibu Juhri ngomel dalam hati. Dipandanginya Juhri lekat-lekat. Ah, tak terasa memang. Sekarang Juhri sudah berangkat remaja. Usianya sudah tujuh belas tahun. Seharusnya dia sudah kelas tiga SMA dan sebentar lagi tamat. Anak seusia dia memang lagi kemaruk-kemaruknya jatuh cinta. Ibu Juhri tersenyum sendiri.
"Kenapa senyum-senyum, Mak?" Juhri keheranan.
"Kalau Mamak nggak jatuh cinta, Mamak nggak kawin dan kau nggak pernah lahir, Juhri!"
"Juhri juga sedang jatuh cinta, Mak!"
"Jatuh cinta? Sama siapa?" ibu Juhri meletakkan ember cucian yang dipegangnya.
"Jasmine." ucap Juhri malu-malu.
"Jasmine anak wak Badrun?"
Ibu Juhri merenung. Jasmine itu memang lahir di kampung ini, tapi sejak usianya setahun dia dibawa ke kota dan diasuh oleh makciknya. Setelah remaja prilaku Jasmine sangat mengkhawatirkan wak Badrun. Jasmine lebih suka hura-hura. Ke diskotik, nongkrong di cafe dan suka pulang malam. Karena takut akan keselamatan masa depan putrinya , wak Badrun meminta Jasmine dipulangkan ke kampung. Biar Jasmine hidup sederhana dan tidak tercemar budaya hedonisme orang-orang kota. Begitulah, meskipun dengan susah payah akhirnya wak Badrun berhasil memulangkan Jasmine kepangkuannya.
"Mana mau si Jasmine sama kau yang bodoh!" ibu Juhri mematahkan semangat anaknya itu.
"kenapa pulak Mamak bilang aku bodoh?!" Juhri tersinggung dibilang bodoh.
"Apa namanya kalau bukan bodoh, sekolah cuma sampai kelas empat?" tanya ibu Juhri sambil mencibir.
"Mamak sendiri cuma sampa kelas tiga!" jawab Juhri tak mau kalah.
Ibu Juhri terbodoh. Oh, anak setan! Pintar juga dia berdebat. Omel ibu Juhri dalam hati. Sebetulnya dia suka juga melihat Jasmine. Anaknya cantik dan mau sekolah. Tapi apa iya, Jasmine mau jadi menantunya? Ibu Juhri merenung.
Dengan memberikan upah seribu perak, Juhri menugaskan Boncel, adiknya yang masih berusia tujuh tahun sebagai kurir, mengantarkan surat ketangan Jasmine dengan cepat dan selamat. Setelah itu Juhri pun berharap-harap cemas. Apa yang jadi jawaban cewek itu nanti? Oh, Jasmine... ai lap yu! Apakah yu lap mi? Juhri melambungkan angan-angannya setinggi langit
"Juhri!" ibunya Juhri nongol di pintu kamar.
"Ya, Mak?!" Juhri kaget dan melompat dari tempat tidurnya.
"Ada apa, Mak?!" tanya Juhri ketika dia melihat ibunya sudah berdiri di ambang pintu kamar.
"Ada Jasmine, tuh! Nunggu disamping rumah!" ujar ibu Juhri gelagapan.
"Jasmine?!" Juhri kaget. Matanya melotot.
Dengkul Juhri menggeletar. Jantungnya empot-empotan. Hebat juga si Boncel, surat itu pasti sudah sampai ke tangan Jasmine. Nah, sekarang buktinya cewek itu datang nyamperin? Gumam Juhri dalam hati.
Perlahan Juhri melangkah keluar kamar. Di halaman samping di bawah pohon rambutan, Jasmine duduk di bangku kayu, tempat biasa Juhri nongkrong sambil melamun.
"Hai!" sapa Jasmine ketika melihat Juhri datang menghampirinya.
Juhri cuma tersenyum. Jantungnya gedebak-gedebuk, badannya keringatan. Nggak nyangka bakal disamperin sama Jasmine seperti ini. Duh, mana wangi lagi dia. Hidung Juhri sampai kembang kempis mengendus-endus.
"Kamu yang nulis surat ini, ya?" tanya Jasmine lembut.
Mendengar pertanyaan Jasmine, jantung Juhri semakin berdebar kencang. Cowok culun itu garuk-garuk kepala sambil nyengir.
"Be.. be.. betul..." jawab Juhri gugup.
"Dikirim untuk aku?" tanya Jasmine lagi.
"Ya, untuk... untuk... kamu." kaki Juhri makin menggeletar.
Baginya ini pertaruhan hidup dan mati. Memiliki Jasmine adalah sesuatu yang terindah dalam hidupnya dan kalau sampai gagal, Juhri merasa bakal kehilangan separuh napasnya. He... he... he...
"Tapi aku nggak bisa bacanya." ujar Jasmine lembut. Hampir tak kedengaran.
Juhri terperangah.
"Kamu nggak bisa baca?!"
Oalah! Jadi dia sekolah sampai SMA ini ngapain aja? Juhri nyengir. Masih mending aku kalau gitu. Gumam Juhri dalam hati.
"Abis, tulisanmu cakar ayam begini!" lanjut Jasmine.
He... he... he... wajah Juhri merah padam. Malu hati dia. Rasanya Juhri mau lari ke kutub utara untuk sembunyikan wajah culunnya itu. Tapi kakinya tak bisa bergerak. Malu banget dibilang tulisannya cakar ayam.
"Kamu mau aku ajarin nulis?" tawar Jasmine pada Juhri.
"Mau..." jawab Juhri pasrah. Habis, mau apalagi?
Biarin deh, besok-besok kalau aku sudah bisa nulis yang bagus, aku akan mengirim surat cinta lagi untuknya. Tekad Juhri dalam hati. Apalagi yang kurang? Tulisan bagus, punya kambing lagi . Ha... ha... ha...
Yang nggak punya kambing ngiri, tuh! ***
Taman Remaja Pelajar, Analisa Minggu, 15 Juni 2008