Launching Buku Sang Penanti

Launching Buku Sang Penanti
City Ice Cream Cafe, Plaza Medan Fair

Sabtu, 05 Desember 2009


SEGERA TERBIT SEBUAH NOVEL KOMEDI ROMANTIK
Karya : Onet Adithia Rizlan
berjudul BONO&BAWON
P
enerbit LEUTIKA PUBLISHER JOKJAKARTA.

Rabu, 11 November 2009

Rabu, 28 Oktober 2009

Cerpen

Puisi-puisi di Bus Stand

Aku masih mengaduk-aduk potongan ayam percik di piring. Angin malam yang terasa lembab menerpa. Aina menatapku dengan teduh. Ah, pandangan seperti ini yang selalu kurindukan darinya. Sudah setahun aku tak bertemu dengannya dan selama ini aku selalu berkomunikasi lewat email atau telpon diapartemennya. Kalau dulu aku datang sebagai petualang, sekarang aku datang khusus menyambangi Aina. Hanya untuk Aina.

Aku dan Aina adalah dua orang pembohong. Kami berbohong untuk tak mau mengakui rasa suka dalam hati masing-masing. Biarlah, rasanya lebih nikmat menyimpan perasaan itu. Aku bisa mengajuk hati semaunya. Meresapi rasa sedih, kecewa, rindu dendam dan cinta bergantian mendera. Cinta itu memang aneh dan tak sama situasinya pada tiap orang.

“Kenapa tak makan lagi?” Aina menegurku pelan. Sedari tadi aku memang belum sedikit pun menyentuh makanan didepanku.

Pelan aku mencomot sepotong kecil ayam percik yang sudah kusuir dengan tangan dan memakannya. Lamat-lamat.

“Tak sedap, ya?” Aina bersuara lagi. Pandangannya masih teduh seperti tadi.

“Enak.” jawabku. Ayam percik itu terasa manis dimulutku.

“Seperti bumbu rujak.” komentarku sambil tersenyum.

Aina tertawa pelan. Dulu juga aku selalu berkata seperti itu. Ayam percik adalah ayam stim yang di siram kuah seperti bumbu rujak. Rujak Penang tentu saja.

“Kalau tak sedap kita cari makanan lain, ya? Pasar malam kat jalan Mashuri masih lagi buka.” Aina menyarankan.

Aku menggeleng dan mencomot sesuir ayam percik dan memakannya.

“Sedap ke tak sedap?” penasaran Aina.

“Kalau tak, order chicken black pepper kat Azeem, ya?” Aina menawarkan pilihan lain.

Dulu, aku selalu menemani Aina berbelanja di pasar malam jalan Mashuri, jalan umum yang di tutup untuk pengendara karena jalan sepanjang seratus meter itu dijadikan ajang jual beli layaknya pasar. Ada pedagang ikan segar, sayur mayur, makanan kering, kue jajan pasar sampai pakaian, aksesoris dan peralatan elektronik. Pasar malam yang di buka sekali dalam seminggu setiap kamis malam. Aina pernah bertanya padaku adakah pasar malam di Medan. Ada jawabku tapi jangan berharap menemukan pedagang ikan dan sayur mayur. Kalau mau naik komedi putar atau melihat tong setan bolehlah. Waktu itu Aina tertawa dan menepuk lenganku.

Sepulang dari pasar malam kami selalu singgah di rumah makan Azeem, jalan Tun Dr. Awang di daerah Bayan Lepas tak jauh dari pasar malam. Kami memilih rumah makan itu karena dekat dengan apartemen BJ. Court, tempat tinggal Aina. Cuma butuh lima menit dengan berjalan kaki. Di rumah makan itu kami cuma memesan nasi putih, tomyam campur dan dua gelas minuman. Asamko es, minuman yang rasanya asam, manis dan sedikit asin beraroma jeruk sitrus. Aku dan Aina sama-sama menyukai minuman itu.

“Apa kabar sekarang, sedari tadi belum cerita sikit pun?” tanya Aina tiba-tiba.

“Aku selalu kirim email, kan?” dalihku.

“Iyalah, tapi semua tu tak sama. Lagi suka bila dengar langsung dari orangnya. Cakaplah, cemana kabar Arif sekarang ni?”

Angin malam kembali bertiup. Aku dan Aina memang suka memilih meja di luar, di bawah langit terbuka dan diterangi cahaya lampu hias rumah makan yang berkejaran dan berkelap kelip indah.

“Masih suka tulis puisi?” kejarnya.

Aku tergugu. Menatap penuh wajah manis Aina. Karena puisi juga aku bisa berkenalan dengannya. Dulu aku sering duduk di bus stand tidak jauh dari apartemen BJ. Court. Memandangi dan mengamati orang-orang yang turun dan naik bus. Berkejaran dengan waktu mencari tujuannya sendiri-sendiri. Aku sering menulis puisi di situ, hanyut dan larut dalam duniaku sendiri. Suatu kali aku di tegur oleh seorang perempuan berkulit putih dan berwajah manis. Dia memakai baju kurung dan bertudung likup. Kutaksir usianya sekitar dua puluh lima, dua puluh enam.

“Maaf, encik. Saya nak kembalikan ini. Pastilah encik tercicir benda ni.” Perempuan itu menyodorkan secarik kertas putih.

Aku menerimanya dan segera menyadari kalau kertas itu bertuliskan puisi yang kutulis lengkap dengan jam, tanggal, bulan dan tahunnya kecuali namaku. Buru-buru kuucapkan terimakasih.

“Maaf, encik nama siapa?” kejarnya.

“Namaku Arif.”

“Saya Noor Aina binti Haji Mohammad Razman, panggillah Aina saja.” ujarnya lembut memperkenalkan nama.

Dia lalu bercerita sering melihatku duduk di bangku bus stand dan menulisi kertas putih. Setiap hari Aina naik bus rapid ke tempat kerjanya di daerah George Town dan secara diam-diam pula dia mengakrabi sosokku. Kemarin pasti dia yang duduk ditempatku setelah aku buru-buru meninggalkan bus stand, membeli rokok dan minuman ke mini market Seven Eleven masih diseputaran bus stand.

Perkenalan itu berlanjut menjadi persahabatan. Kami selalu janji bertemu setiap kamis malam. Aku menemani Aina belanja dan pulangnya kami selalu singgah di rumah makan Azeem. Di setiap kali pertemuan, Aina selalu berkata dia takjub padaku. Buat apa jauh-jauh datang ke Penang hanya untuk menulis puisi. Aku kehilangan Melayu ditempatku sendiri, itu jawabku. Aina tertawa dan geleng-geleng kepala. Katanya di penang etnis Melayu itu minoritas. Tapi nuansa Melayu masih kutemukan di sini. Aku seolah menemukan kembali akar budayaku yang hilang. Hh! Tak Melayu hilang di bumi. Memang tak hilang karena aku menemukannya di negeri ini. Negeri yang katanya suka mengklaim kebudayaan negaraku. Tapi aku merasa hal itu cuma kerjaan pihak ke tiga yang coba mengadu domba. Mereka tak mau melihat rumpun Melayu ini menjadi kuat dan bersatu. Lalu orang-orang kebakaran jenggot, protes dan membakar bendera hingga melakukan sweeping terhadap orang-orang Malaysia. Aku tak mau ikut-ikutan. Bodoh saja pikirku.

“Arif, melamunkan apa?” suara Aina mengejutkanku.

Aku meraih gelas dan mereguk sedikit asamko es.

“Aku rindu sekali tempat ini.” gumamku tanpa memandang Aina.

“Rindukan siapa, ni?” suara Aina kudengar bergetar.

“Semuanya. Suasana pasar malam, rumah makan Azeem, makanannya, minumannya dan kau Aina.”

“Betul ke, Arif rindukan Aina?”

Aku mengangguk. Tak ada gunanya berbohong lagi, seolah-olah aku tak menyukai Aina. Sekarang aku ingin dia juga berhenti membohongi hatinya.

“Arif ingat tak puisi bertajuk sendiri yang Arif tulis tu?”

“Puisi yang dulu tertinggal di bangku bus stand?” tanyaku heran.

“Ya, betul yang tu. Aina minta maaf kerana telah menyalin dan menyimpannya kat note book tanpa minta izin pada Arif. Aina suka sangat puisi tu, ingatkan Arif tulis buat Aina.” ujar Aina lembut.

“Tak perlu minta izin. Aku senang kalau ada orang yang suka puisiku.” jawabku coba meyakinkan perempuan bermata teduh bernama Aina itu.

Wajah manis Aina berhias senyum seketika. Tapi apa yang kemudian terucap dari bibir Aina adalah kata-kata yang mengejutkan hati. Sekarang baru aku tau mengapa selama mengenal Aina, dia tak pernah memakai handphone. Ternyata Aina menggunakan alat pacu dijantungnya. Dokter menyarankan agar Aina tidak menggunakan komunikasi selular karena bisa mengganggu kerja alat pacu yang tertanam dijantungnya.

“Hidup Aina taka lama lagi, Arif.” gumamnya pelan.

“Siapa yang bisa menentukan hidup mati manusia selain Tuhan?” protesku.

Hening sejenak. Aina tertunduk. Aku memandanginya.

“Bila nanti Arif dah balik Medan, sampai dua atau tiga kali email Arif buat Aina tak berbalas itu bermakna Aina dah berpulang.” datar dan tenang suaranya.

Rasanya ingin aku memeluk Aina saat itu. Aku jadi begitu takut kehilangannya.

“Bacakanlah puisi tu sekali saja buat Aina, please…”

“Aku mencintaimu Aina.” ujarku tak berdaya.

“Aina pun cintakan Arif. Dari dulu lagi, mula pertama kita berkenalan.” Aina menatapku teduh. Teduh sekali.

sendiri

diam-diam

aku pun menyerah

tinggalkan riuh gemuruh

hidup seluruh

aku tak lagi hirau

pada semua fana dunia

biarlah sunyi menjadi sepi

mati juga sendiri

Ah, pantaslah Aina berpikir kalau puisiku yang tertinggal di bangku bus stand itu di tulis khusus untuknya. Karena memang aku bercerita tentang mati dan sendiri. Aku paling benci menangis, tapi membacakan puisi untuk Aina tak urung mataku merebak juga. Setelah itu Aina memasangkan cincin yang dikenakannya ke jari tanganku.

“Cinta Aina selamanya…” bisiknya lembut padaku.

Kali ini aku betul-betul menangis.***


Kamis, 24 September 2009

Rabu, 23 September 2009

Cerita Anak

Aku dan Sepatu Rombeng

Namaku Arif siswa kelas enam sekolah dasar. Setiap pagi aku pergi ke sekolah dengan berjalan kaki. Agak jauh memang dan sering kali aku sampai di sekolah dengan baju seragam yang basah oleh keringat. Aku tak pernah mengeluh atau keberatan harus menempuh jarak dengan berjalan kaki, bahkan menurut ayah dan ibuku hal itu bisa membuat tubuhku sehat. Tapi yang membuatku sedih adalah karena sepatu sekolahku yang sudah rombeng. Koyak di sana sini dengan tapak yang miring karena sudah menipis karena terlalu lama dipakai. Jari kakiku selalu menyembul dari robekan di ujung sepatu.

Aku bersedih untuk kaki dan sepatuku itu. Kaki yang seharusnya nyaman dibungkus oleh sepasang sepatu bagus tapi malah sering menahan perih karena lecet. Penyebabnya adalah sepatu yang kukenakan lapis bagian dalamnya sudah terkelupas semua, hingga kain sepatu yang kasar bersentuhan langsung dengan kulit kakiku. Bayangkanlah kalau setiap hari dibawa berjalan pergi dan pulang sekolah, tidakkah kaki akan melepuh karena lecet tergesek kain sepatu yang kasar?

Aku juga bersedih kalau melihat sepatu rombengku. Seharusnya dia sudah di istirahatkan. Hampir dua tahun aku memakainya dari awal kelas lima sampai kelas enam sekarang ini. Mungkin kalau sepatuku bisa bicara pasti dia berteriak minta tolong, karena sudah tak mampu lagi melindungi kakiku. Ah, sepatuku memang sudah letih dan tugasnya sudah berakhir. Tapi kalau dia kubuang, bagaimana aku akan pergi ke sekolah? Bapak dan ibu guru pasti tidak memperbolehkan aku memakai sendal jepit. Minta dibelikan sepatu baru pada ayah?

Pernah aku memintanya, dulu sudah lama sekali. Waktu itu akhir kelas lima dan mau naik ke kelas enam.

“Ayah, beli sepatu yang baru, ya? Sepatu Arif yang ini sudah rombeng. Koyak dan bolong diujungnya.” ujarku meminta.

Ayah memandang sepatu yang kukenakan.

“Tapi masih bisa dipakai kan, Rif?”

“Masih, ayah…” jawabku berbohong.

Padahal betapa setiap hari aku harus menahankan perih akibat luka lecet di kakiku. Kalian pasti mengatakan aku bodoh, kenapa tidak memakai kaus kaki supaya tidak lecet? Ada, aku punya kakus kaki tapi kuberikan pada adikku Anggi karena sepatunya juga rombeng, aku tak tega melihat Anggi meringis menahan perih di kakinya. Lalu kaus kaki itu pun keberikan padanya. Lagipula aku anak laki-laki dan harus lebih kuat dari adikku yang perempuan. Aku senang melihat Anggi melangkah dengan nyaman karena mengenakan kaus kaki. Sebagai gantinya akulah yang harus menahan sakit bila berjalan pulang dan pergi sekolah.

Aku tau betul kenapa Anggi adikku yang duduk di kelas lima itu tidak punya kaus kaki. Ketika dulu membeli sepatu, kami berdua diajak ayah ke toko sepatu di pasar. Waktu itu uang ayah kurang untuk membayar dua pasang sepatu dengan kaus kakinya. Terpaksalah ayah membatalkan kaus kaki untuk Anggi. Aku tidak tau alasan ayah kenapa harus adik perempuanku yang tak memakai kaus kaki.

Aku tak pernah memaksa minta dibelikan sepatu baru meski pun sepatuku yang lama sudah rombeng. Aku tau ayah belum punya uang lebih untuk membelikan sepatu, untukku dan adikku. Tak apalah, aku akan bersabar. Ayahku bilang, Tuhan sayang sama orang yang sabar. Aku juga melihat betapa ayah adalah termasuk orang yang sabar. Tak pernah mengeluh meski harus bekerja keras menghidupi kami.

“Sepatu Arif rombeng! Sepatu Arif rombeng!” teriak anak-anak nakal di sekolahku.

Aku diam saja walau pun diejek dan ditertawakan seperti itu. Tapi banyak juga yang membelaku dan menegur anak-anak nakal itu untuk tidak mengejekku.

“Hei, kalian! Jangan mengejek Arif, ya?!” teriak Benny ketua kelasku yang badannya lebih jangkung.

Ah, Tuhan. Apa salahnya dengan sepatu rombeng ini? Kalau mereka tak suka, ya jangan dilihat. Kenapa harus mengejek seperti itu? Sedih juga hatiku. Tapi apa boleh buat orang tuaku memang miskin. Ayah betul, aku memang harus banyak-banyak bersabar.

“Arif, kau bisa membantu aku?” Anita teman sekelasku menghampiri di halaman sekolah.

“Bantu apa, Anita?” tanyaku heran.

“Kau pintar mengarang, kan?”

Aku terdiam. Anita melirik sepatu rombeng yang kukenakan. Dia tersenyum dan mengangguk-angguk.

“Kau perlu sepatu baru, Arif. Mau aku belikan?” Anita tersenyum lagi.

Aku tau kalau Anita memang anak orang kaya. Kalau hanya untuk membeli sepatu baru, orang tuanya pasti mampu bahkan yang bermerek mahal sekali pun.

“Aku mau ikut lomba mengarang yang diadakan oleh majalah anak terbitan Jakarta. Kau mau kan membuatkan karangan untukku? Nanti aku belikan kau sepatu. Bagaimana, kau mau?” ujar Anita padaku.

“Lomba mengarang?” tanyaku penasaran.

“Iya, tapi persyaratannya banyak. Kau harus mengisi formulir yang ada di majalah itu. Kau punya uang beli majalah, punya komputer untuk mengetik, punya uang untuk mengirimkan karangan lewat pos?” ujar Anita bertubi-tubi.

“Ah, aku tak bisa mengetik. Apalagi di komputer.” jawabku jujur.

“Aku bisa, di rumahku ada komputer. Kau menulis karangan di buku tulis, biar nanti aku yang mengetiknya.” tawar Anita.

“Kau kan bisa mengarang juga, Anita. Kenapa menyuruh aku?”

“Tapi kau juara mengarang di sekolah kita.” ujar Anita memujiku.

“Tapi kalau kulakukan, itu berbohong namanya.” aku menolak tawaran Anita.

“Sekali-sekali tidak apa-apa, lagipula siapa yang rugi? Karanganmu kutukar dengan sepasang sepatu baru. Adil, kan?” Anita tersenyum lagi.

Aku menunduk, menatap sepatu rombeng yang warnanya semakin kusam, kainnya sobek dan bolong-bolong. Hanya dengan sebuah karangan yang kutulis untuk Anita, aku akan mendapat imbalan sepasang sepatu baru. Ah, mudah sekali.

“Bagaimana, setuju?” ujar Anita memandangku.

Terbayang wajah ayah dan ibu. Wajah-wajah letih yang sangat kuhormati itu. Meski hidup susah mereka tak pernah mau berbohong apalagi sampai menipu orang. Tak apa kakiku luka karena memakai sepatu rombeng asal jangan hati ayah dan ibu yang luka karena mengetahui kalau aku jadi pembohong dan penipu.

“Arif?” suara Anita mengejutkanku.

“Maaf, Anita. Aku tak bisa.”

“Tidak ingin sepatu baru?” goda Anita.

Aku menggeleng dan pergi meninggalkan Anita. Menyeret langkahku yang terasa perih karena kulit kaki yang lecet dan melepuh, membuat jalanku jadi terpincang-pincang. Aku terus menyeret langkah meninggalkan halaman sekolah, menjauhi Anita yang masih berdiri di sana.

“Sepatu Arif rombeng! Sepatu Arif rombeng!”

Anak-anak nakal itu menyoraki dibelakangku. Mereka ikut berjalan terpincang-pincang menirukan langkahku yang pincang karena menahankan perih akibat kakiku yang melepuh. Aku terus melangkah tanpa menghiraukan ejekan mereka. Tak ada gunanya marah karena memang benar sepatuku rombeng. Bersabar sajalah, itu lebih baik***


Harian Global, Edisi Sabtu 12 September 2009

Selasa, 22 September 2009


Lebaran Itu Berbagi

Malam takbiran telah menjelang, seleas maghrib lantunan takbir mengumandang dari seluruh masjid dan musholla. Malam pun semakin semarak dengan puji-pujian mengagungkan nama Tuhan. Sepulang dari sholat maghrib di masjid, Fauzi bergegas pulang ke rumah dengan mengajak Alif teman barunya.

“Kita mau kemana, Zi?” tanya Alif heran.

“Ayolah, kita kerumahku.” ajak Fauzi.

Sebetulnya Alif ingin tetap tinggal di masjid untuk mengikuti takbiran sampai sholat isya. Tapi karena Fauzi berjanji tak akan lama dan mereka akan kembali lagi ke masjid untuk melaksanakan sholat isya dan ikut takbiran sampai tengah malam. Maka Alif pun bersedia mengikuti Fauzi.

“Kerumahmu kita mau ngapain, Zi?’ tanya Alif sambil melangkah di samping Fauzi.

“Nanti juga kau tau, Lif.” jawab Fauzi sambil tersenyum.

Sesampainya di rumah Fauzi, Alif langsung di bawa masuk ke kamar Fauzi yang besar, rapi dan bagus. Baru sekali ini Alif masuk ke kamar Fauzi. Dia nampak terkagum-kagum melihat isi kamar sahabat barunya itu. Memang sudah beberapa kali dia main ke rumah Fauzi tapi hanya di beranda saja. Alif sungkan di ajak masuk ke dalam rumah, soalnya dia baru saja bersahabat dengan Fauzi karena memang Alif dan keluarganya baru dua minggu pindah menjadi tetangga keluarga Fauzi.

Fauzi membuka lemari pakaiannya yang besar dan dipenuhi oleh pakaian-pakaian bagus.

“Lif, pilih yang mana saja kau suka.” ujar Fauzi menawarkan.

“Maksudnya, Zi?” Alif teheran-heran.

“Buat kau, Lif. Semua ini memang bukan pakaian baru tapi masih bagus-bagus dan layak pakai. Ayolah, ambil saja berapa pun kau mau. Oya, aku juga punya koleksi baju koko, ambillah untuk kau pakai sholat ied besok pagi.” Fauzi mengambil bebera stel baju koko dan menaruhnya di atas tempat tidur supaya Alif bebas memilihnya.

“Ukuran kita sama, Lif. Kau juga pasti bisa memakainya.” jelas Fauzi.

Alif terdiam. Memang sudah lama dia kepingin memakai baju koko seperti kepunyaan Fauzi. Tapi harganya memang mahal, selama ini Alif hanya dibelikan baju koko yang biasa saja dan murah harganya. Sekarang dia ditawari baju koko yang bagus dan mahal oleh Fauzi, sahabat barunya. Alif merasa sungkan.

“Kalau begitu ambil yang ini buat kau, Lif.” Fauzi memilihkan dua stel baju koko warna biru dan coklat muda untuk Alif.

Malam itu di kamar Fauzi, Alif seolah-olah berada di mal sedang berbelanja pakaian untuk lebaran. Fauzi memilihkan pakaian-pakaian yang bagus untuknya. Dua stel baju koko, tiga stel kemeja dan celana panjang jins serta lima potong kaus oblong yang masih bagus-bagus. Alif juga di kasih sendal kulit dan sepasang sepatu yang nampak seperti baru.

“Daripada jarang di pakai, kan lebih bagus kuberikan untuk kau, Lif. Mubazir kalau disimpan-simpan terus.” ujar Fauzi menjelaskan.

Alif masih terdiam dan tak bisa berkata-kata. Dia hanya memandangi Fauzi yang sibuk melipat dan memasukkan pakaian-pakaian itu ke dalam tas belanjaan bermerek toko terkenal.

“Ini bekas tas belanja waktu kemarin aku beli pakaian bersama mama.” ujar Fauzi menerangkan.

“Terima kasih telah memberiku sebanyak ini, Zi.” akhirnya Alif bersuara juga.

“Asal kau senang menerimanya, aku lebih merasa senang.” Fauzi tersenyum.

“Kau baik sekali, Zi. Padahal kita baru beberapa hari saja berteman.”

“Mamaku bilang kita harus berbuat baik pada orang yang tidak kita kenal sekali pun. Apalagi dengan teman sendiri?” Fauzi tertawa.

“Oh ya, apa orang tuamu tau kalau kau memberikan pakaian-pakaian ini untukku?” tanya Alif khawatir.

“Sudah, mamaku juga mau bertemu denganmu. Nanti setelah ini kita jumpai mamaku, ya?”

Selesai membungkus semua pakaian, sepatu dan sendal, Fauzi memberikannya pada Alif.

“Terima kasih ya, Zi?” Alif menerima pemberian Fauzi. Ada rasa haru melintas dihatinya. Beginilah indahnya persahabatan itu, suka duka di bagi bersama.

Di dapur, mama Fauzi sedang sibuk membantu bik Karsih memasak ketupat, opor ayam, sambal goreng hati dan tauco udang telur puyuh. Tradisi makan ketupat di pagi hari lebaran juga berlaku di tengah keluarga Fauzi.

“Ma, ini Alif.” ujar Fauzi ketika menemui mama di dapur.

“Oh, nak Alif. Ayo, kita ke depan.” mama bergegas meninggalkan dapur.

Fauzi dan Alif menunggu di ruang tamu. Sesaat kemudian mama datang dengan membawa amplop ditangannya.

“Nah, ini untuk jajan lebaran Alif, ya? Dan ini yang satu lagi kasih untuk adikmu. Namanya Mira, kan?”

“Minah, bu.” gumam Alif pelan.

“Oh ya, Minah. Bilang ini untuk jajan lebarannya.” mama memberikan amplop ke tangan Alif.

“Terimakasih, bu.” Alif menyalami dan mencium tangan mama Fauzi.

Malam itu Alif merasakan kebaikan bulan ramadhan. Di tengah kesulitan, Allah pasti memberikan kemudahan. Alif mensyukuri apa yang diterimanya malam ini. Alif pulang ditemani Fauzi, setelah menyimpan semua bungkusan berisi pakaian-pakaian, sepatu dan sendal dirumahnya, Alif dan Fauzi kembali menuju masjid. Sebentar lagi waktu sholat isya. Sementara itu gema takbir masih terdengar bersahut-sahutan. Langit cerah bertabur bintang, seluruh alam semesta bertakbir. Memuji-muji, Allah maha besar, Allah maha besar.***

Harian Global, edisi Sabtu 12 September 2009

Kamis, 27 Agustus 2009

Rabu, 17 Juni 2009

Cerita Anak

Jangan Jadi Anak Penakut

Meski sudah kelas enam sekoah dasar dan anak paling tua dirumahnya, Jono terbilang anak penakut. Adiknya Joko yang masih kelas empat malah lebih berani dibandingkan Jono. Percuma saja badannya besar dan tinggi tapi kalau malam, mau ke dapur atau ke kamar mandi saja dia minta ditemani adiknya.

“Hantu itu tidak ada.” Tegas ayah.

“Pocong, kuntilanak, tuyul, apa itu bukan hantu?” Jono penasaran.

“Apa kau pernah melihatnya?” tanya ayah kesal. Kenapa anak laki-laki tertuanya bisa jadi sepenakut ini.

“Jono pernah melihatnya di sinetron.”

“Sinetron itu cerita bohong!” ayah semakin kesal.

“Hantu itu cuma godaan setan, nak.” ibu ikut menimpali.

“Berarti hantu itu ada kan, bu?”

“Tidak ada, Jono. Itu cuma perasaan takut dan was-was yang ditiupkan oleh setan untuk menggoda manusia.” sahut ibu dengan bijaksana.

“Setan itu terbakar kalau dekat manusia!” ujar ayah lagi.

“Kenapa bisa begitu, ayah” tanya Jono seperti tak percaya.

Ayah pergi meniggalkan ruang keluarga tanpa menjawab.

“Karena manusia itu mahkluk Tuhan yang paling mulia dan sempurna. Manusia itu khalifah di muka bumi ini.” Jawab ibu dengan sabar. Berharap anaknya menjadi anak yang pemberani.

“Ah, tapi Jono percaya hantu itu ada.”

“Apa buktinya kalau hantu itu ada?” kali ini ibu yang bertanya.

“Kalau malam-malam pulang dari musholla lewat dari gang yang gelap, Jono merasa seram seperti ada yang mengikuti. Orang bilang kalau seperti itu jangan menoleh ke belakang. Lari saja biar hantunya tidak kelihatan.” ujar jono panjang lebar.

“Rasa takut dan seram itu cuma perasaanmu saja. Itulah godaan setan supaya kau jadi penakut dan percaya pada takhayul. Coba ibu tanya, apakah ada orang yang mati karena dicekik hantu? Kalau ada bilang sama ibu, kapan, dimana dan siapa korbannya?”

Jono terdiam. Dipandanginya ibu yang sedang menyulam di ruang keluarga. Tiba-tiba Joko adiknya masuk dari luar.

“Ayah, ibu, wak Badrun meninggal. Itu orang-orang sudah berkumpul dirumahnya.” Ujar Joko memberi tahu.

Mendengar berita dari Joko adinya itu, Jono melompat ketakutan dan pindah duduk ke dekat ibu. Ayah keluar dari dalam kamar.

“Innalillahi wa’inna ilaihi rojiun.Kapan meninggalnya wak Badrun, Joko?” tanya ayah terkejut.

“Waktu lewat situ, Joko dengar dari orang-orang, wak Badrun meninggal sebelum azan ashar tadi, yah?”

Ayah kembali masuk ke kamar mengambil peci dan bergegas pergi ke rumah wak Badrun, tetangga mereka yang tinggal di ujung gang. Ibu juga mulai mengemasi peralatan menyulamnya dan berniat untuk melayat sebagai tanda turut berduka cita.

“Bu, nanti malam Jono nggak usah pergi mengaji, ya?”

“Kenapa?” tanya ibu sambil melangkah menuju kamar.

“Kalau mau pergi ke musholla, kan lewat dari depan rumah wak badrun?” sindir Joko sambil nyengir mengejek abangnya yang penakut.

“Apa kau berani lewat situ?” Jono melotot pada Joko adiknya itu.

“Berani, siapa takut?” jawab Joko santai.

“Nah, adikmu saja berani, kenapa kau jadi penakut begitu?” ibu geleng-geleng kepala melihat betapa penakutnya Jono.

Malam harinya Jono memang betul-betul tak mau pergi mengaji walau pun dia tidak sendiri,karena ada Joko adiknya yang juga ikut belajar mengaji. Meski sudah dipaksa oleh ayah dan ibunya, Jono tetap berkeras tak mau pergi mengaji.

“Takut sama apa kau, Jono?” tanya ayah kesal.

“Hantu wak Badrun!” seru Jono ketakutan.

“Sudah, kalau dia tak mau pergi mengaji biar Joko saja yang pergi. Ayah mau tahlilan ke rumah wak Badrun, ibu juga mau ke sana untuk bantu-bantu persiapan penguburan wak Badrun besok hari. Kau sendiri jaga rumah.” ujar ayah pada Jono.

Jono melotot ketakutan.

“Ibu jangan pergi, di sana kan sudah banyak orang yang membantu?”

Jono memohon agar ibu tidak ikut-ikutan pergi meninggalkan rumah. Anak itu sampai terkencing-kencing di celana saking takutnya mendengar akan ditinggal sendirian menjaga rumah.

“Bu, jangan tinggalkan Jono sendirian…” ujarnya sambil menangis.

Melihat wajah Jono yang pucat pasi dengan tubuh menggeletar, ibu tak sampai hati juga meninggalkan Jono sendirian di rumah. Ibu mengurungkan niatnya untuk pergi. Jono pun senang karena dia akan ditemani ibu dan rasa takutnya jadi hilang seketika. Hantu wak Badrun tak mungkin datang ke sini, bisik hatinya yang penakut.

Setelah Joko pulang dari mengaji dan ayah pulang dari tahlilan, mereka menyindir Jono yang sedang menonton televisi bersama ibu.

“Bagaimana Joko, apakah sewaktu pulang dari musholla tadi kau berjumpa dengan hantu wak Badrun?” tanay ayah pada Joko.

“Tidak ada ayah, hantunya takut sama Joko.” jawab Joko sambil tertawa melirik pada abangnya Jono.

Tengah malam Jono terbangun karena ingin buang air. Tapi dia tak melihat Joko, tempat tidur adiknya itu kosong. Jono ingin memanggil tapi suaranya tak bisa keluar, tubuhnya tiba-tiba jadi merinding ketakutan sementara itu perutnya terasa sakit sekali. Dengan terpaksa akhirnya Jono memberanikan diri pergi ke kamar mandi. Sampai di kamar mandi Jono membuka pintu, ruangan kamar mandi gelap.

“Tolooong…! Ada hantu… ada hantu wak Badrun…!” tiba-tiba Jono lari meninggalkan kamar mandi sambil berteriak-teriak.

Suasana rumah jadi gempar. Ayah dan ibu terbangun.

“Ada apa, Jono?” tanya ayah heran.

“Di… di… kamar mandi belakang, ada… ada… han… hantu wak Badrun…!” Jono ngos-ngosan dan wajahnya pucat pasi.

Tiba-tiba Joko muncul dari belakang sambil tersenyum.

“Hantunya sedang jongkok, kan?” tanya Joko.

“Ya, betul! Hantunya warna hitam sedang jongkok.” Jawab Jono ketakutan.

“Itu aku sedang buang air besar…” Joko tertawa terbahak-bahak.

“Kenapa lampu kamar mandi tidak kau nyalakan?” protes Jono marah.

“Namanya juga orang kebelet, mana sempat menyalakan lampu?” Joko tersenyum.

Ha… ha… ha… Ayah dan ibu tertawa terpingkal-pingkal. Makanya jangan jadi anak penakut. Adiknya sendiri disangka hantu. Malu-maluin saja!***

Jumat, 17 April 2009

Cerpen Remaja

Juhri dan Jasmine
Oleh: Onet Adithia

Siapa sih yang enggak tertarik sama Jasmine, cewek tetangga sebelah? Pertanyaan itu selalu saja berkecamuk di kepal Juhri, cowok bertampang culun yang sudah putus sekolah sejak kelas empat sekolah dasar
. Pokoknya setiap hari hanya Jasmine saja yang ada yang dipikirannya. Pagi-pagi sebelum Jasmine pergi sekolah, Juhri sudah menunggu di balik pagar rumahnya. Apa lagi kalu bukan mau melihat Jasmine lewat?
"Juhriiii...!" suara ibuya Juhri menggelegar.
"Ya, Maaak....?"
"Anak kambingmu nyebur ke kolam!"

Jangkrik! Juhri menyumpah dalam hati. Padahal sebentar lagi waktunya Jasmine lewat. Juhri ingin bergegas menolong anak kambingnya itu, tapi baru saja dia ingin melangkah, Jasmine sudah melintas di depan rumah. Memakai seragam putih abu-abu sambil menyandang ransel dipunggungnya. Alamak! Cantik nian...! Juhri kembali mengendap di balik pagar rumahnya yang terbuat dari bilah-bilah bambu. Dia berjongkok di gerombolan bunga-bunga pagar.
"Juhriii...!" suara ibunya terdengar lagi.

Juhri ingin menyahuti ibunya tapi dia takut ketahuan sama Jasmine kalau lagi mengintai. Akhirnya dia memutuskan untuk diam saja dan menatap Jasmine yang melintas tanpa berkedip. Waaah... makin hari, makin tambah cakep aja si Jasmine. Bisik hati Juhri.Kalau orang Betawi bilang: Mingkin botoh aja lu! Juhri menelan ludah, ngiler banget!
"Juhri!" ibunya muncul tiba-tiba.

Sontak Juhri berdiri kaget. Bersamaan dengan itu Jasmine menoleh kearahnya. Cewek itu tersenyum. Juhri jatuh semaput.
"Eh, Juhri! Anak kambingmu masuk kolam!" ibunya terlihat panik. Kalau sampai mati, kan nggak jadi duit itu kambing?

Tapi Juhri sudah keburu semaput. Nggak nyangka dia bakal disenyumin kayak gitu sama Jasmine. Cewek yang baru dua bulan ini pindah kekampungnya dan tinggal beberapa rumah dari tempat tinggalnya Juhri. Meski baru dua bulan tapi Jasmine sudah merajai hati Juhri , mengisi mimpi-mimpinya dan menguasai setiap jengkal pikiran cowok culun yang nggak sekolah itu. Oh, Jasmine sayang! Kaulah cinta pertama dan terakhir bagiku. Juhri betul-betul kasmaran setengah mati.
He... he... he...

Juhri memang bengal, dari kecil sukanya cuma main. Sekolah saja, kalau tak dipecut pakai rotan dia tak bakalan jalan. Seperti paku. Kalau tidak digetok dulu, tak bakalan nancep! Meskipun bapak dan ibunya sudah setengah mati memaksanya, Juhri cuma tahan sampai kelas empat sekolah dasar. Dia bilang orang pintar dikampungnya sudah banyak, tapi orang kayanya masih sedikit. Juhri memilih jadi orang kaya saja, dia tak mau jadi orang pintar. Makanya setelah lagi, Juhri getol banget ngangon kambing, ngurusin ayam-ayam dan beternak ikan lele di kolam belakang rumah. Katanya dia mau jadi konglomerat seperti Edy Tansil. Buset emang Juhri! Padahal Edy Tansil tak ngetop lagi, kan?
"Jadi kalau tak mikirin kambing , kau mikirin apa?" tanya ibunya Juhri sambil membuang air bekas cucian dari ember.
"Mamak nggak ngerti. Ini urusan anak muda!" jawab Juhri cuek.
"Oalah, Juhri, Juhri...! Mamak ini sudah kenyang makan asam garam. Kau jangan anggap enteng sama Mamak!" balas ibu Juhri dengan senyum cemprengnya.
"Mamak pernah jatuh cinta?" tanya Juhri bodoh.

Anak sontoloyo! Ibu Juhri ngomel dalam hati. Dipandanginya Juhri lekat-lekat. Ah, tak terasa memang. Sekarang Juhri sudah berangkat remaja. Usianya sudah tujuh belas tahun. Seharusnya dia sudah kelas tiga SMA dan sebentar lagi tamat. Anak seusia dia memang lagi kemaruk-kemaruknya jatuh cinta. Ibu Juhri tersenyum sendiri.
"Kenapa senyum-senyum, Mak?" Juhri keheranan.
"Kalau Mamak nggak jatuh cinta, Mamak nggak kawin dan kau nggak pernah lahir, Juhri!"
"Juhri juga sedang jatuh cinta, Mak!"
"Jatuh cinta? Sama siapa?" ibu Juhri meletakkan ember cucian yang dipegangnya.
"Jasmine." ucap Juhri malu-malu.
"Jasmine anak wak Badrun?"

Ibu Juhri merenung. Jasmine itu memang lahir di kampung ini, tapi sejak usianya setahun dia dibawa ke kota dan diasuh oleh makciknya. Setelah remaja prilaku Jasmine sangat mengkhawatirkan wak Badrun. Jasmine lebih suka hura-hura. Ke diskotik, nongkrong di cafe dan suka pulang malam. Karena takut akan keselamatan masa depan putrinya , wak Badrun meminta Jasmine dipulangkan ke kampung. Biar Jasmine hidup sederhana dan tidak tercemar budaya hedonisme orang-orang kota. Begitulah, meskipun dengan susah payah akhirnya wak Badrun berhasil memulangkan Jasmine kepangkuannya.
"Mana mau si Jasmine sama kau yang bodoh!" ibu Juhri mematahkan semangat anaknya itu.
"kenapa pulak Mamak bilang aku bodoh?!" Juhri tersinggung dibilang bodoh.
"Apa namanya kalau bukan bodoh, sekolah cuma sampai kelas empat?" tanya ibu Juhri sambil mencibir.
"Mamak sendiri cuma sampa kelas tiga!" jawab Juhri tak mau kalah.

Ibu Juhri terbodoh. Oh, anak setan! Pintar juga dia berdebat. Omel ibu Juhri dalam hati. Sebetulnya dia suka juga melihat Jasmine. Anaknya cantik dan mau sekolah. Tapi apa iya, Jasmine mau jadi menantunya? Ibu Juhri merenung.
***
Ketika rindu dendam sudah tak tertahankan lagi. Saat perasaan suka itu telah mengharu biru hatinya, Juhri menulis sepucuk surat. Menyatakan isi hati, rasa kagum dan kecintaanya pada Jasmine. Dia tidak mau tau kalau tulisannya cakar ayam. Hurup besar sama hurup kecil campur aduk. Bagi Juhri tulisannya itu hanya perantara saja, yang terpenting adalah isi hatinya.

Dengan memberikan upah seribu perak, Juhri menugaskan Boncel, adiknya yang masih berusia tujuh tahun sebagai kurir, mengantarkan surat ketangan Jasmine dengan cepat dan selamat. Setelah itu Juhri pun berharap-harap cemas. Apa yang jadi jawaban cewek itu nanti? Oh, Jasmine...
ai lap yu! Apakah yu lap mi? Juhri melambungkan angan-angannya setinggi langit

"Juhri!" ibunya Juhri nongol di pintu kamar.
"Ya, Mak?!" Juhri kaget dan melompat dari tempat tidurnya.
"Ada apa, Mak?!" tanya Juhri ketika dia melihat ibunya sudah berdiri di ambang pintu kamar.
"Ada Jasmine, tuh! Nunggu disamping rumah!" ujar ibu Juhri gelagapan.
"Jasmine?!" Juhri kaget. Matanya melotot.

Dengkul Juhri menggeletar. Jantungnya empot-empotan. Hebat juga si Boncel, surat itu pasti sudah sampai ke tangan Jasmine. Nah, sekarang buktinya cewek itu datang nyamperin? Gumam Juhri dalam hati.

Perlahan Juhri melangkah keluar kamar. Di halaman samping di bawah pohon rambutan, Jasmine duduk di bangku kayu, tempat biasa Juhri nongkrong sambil melamun.
"Hai!" sapa Jasmine ketika melihat Juhri datang menghampirinya.

Juhri cuma tersenyum. Jantungnya gedebak-gedebuk, badannya keringatan. Nggak nyangka bakal disamperin sama Jasmine seperti ini. Duh, mana wangi lagi dia. Hidung Juhri sampai kembang kempis mengendus-endus.
"Kamu yang nulis surat ini, ya?" tanya Jasmine lembut.

Mendengar pertanyaan Jasmine, jantung Juhri semakin berdebar kencang. Cowok culun itu garuk-garuk kepala sambil nyengir.

"Be.. be.. betul..." jawab Juhri gugup.
"Dikirim untuk aku?" tanya Jasmine lagi.
"Ya, untuk... untuk... kamu." kaki Juhri makin menggeletar.

Baginya ini pertaruhan hidup dan mati. Memiliki Jasmine adalah sesuatu yang terindah dalam hidupnya dan kalau sampai gagal, Juhri merasa bakal kehilangan separuh napasnya. He... he... he...
"Tapi aku nggak bisa bacanya." ujar Jasmine lembut. Hampir tak kedengaran.
Juhri terperangah.
"Kamu nggak bisa baca?!"

Oalah! Jadi dia sekolah sampai SMA ini ngapain aja? Juhri nyengir. Masih mending aku kalau gitu. Gumam Juhri dalam hati.
"Abis, tulisanmu cakar ayam begini!" lanjut Jasmine.

He... he... he... wajah Juhri merah padam. Malu hati dia. Rasanya Juhri mau lari ke kutub utara untuk sembunyikan wajah culunnya itu. Tapi kakinya tak bisa bergerak. Malu banget dibilang tulisannya cakar ayam.
"Kamu mau aku ajarin nulis?" tawar Jasmine pada Juhri.
"Mau..." jawab Juhri pasrah. Habis, mau apalagi?

Biarin deh, besok-besok kalau aku sudah bisa nulis yang bagus, aku akan mengirim surat cinta lagi untuknya. Tekad Juhri dalam hati. Apalagi yang kurang? Tulisan bagus, punya kambing lagi . Ha... ha... ha...
Yang nggak punya kambing ngiri, tuh! ***

Taman Remaja Pelajar, Analisa Minggu, 15 Juni 2008







Jumat, 10 April 2009

Mimpi Aisha

Aisha menatap dari jendela rumah papan yang amat sederhana itu. Setiap pagi dia mengantar kepergian ayahnya bekerja, setelah ayah menghilang dari pandangan, Aisha masih duduk menatap dari balik jendela. Aisha tidak sekolah karena orang tuanya tidak mampu menyekolahkannya. Ayah Aisha cuma buruh bangunan dan ibunya seorang buruh cuci di rumah tetangga.

Sebetulnya Aisha punya keinginan kuat untuk sekolah tapi karena ketiadaan biaya akhirnya Aisha hanya belajar baca tulis dari ayah atau ibunya yang cuma tamat sekolah dasar. Tapi meski pun begitu sekarang Aisha sudah bisa sekedar baca tulis.

“Aisha, mamak pergi dulu, ya?” ibu Aisha meletakkan sepiring makanan dan secangkir air putih di dekat Aisha.

Seperti biasanya Aisha cuma tersenyum. Ibunya mencium kepala Aisha dan beranjak pergi meninggalkan rumah untuk bekerja sebagai buruh cuci di rumah tetangganya.

“Hati-hati di rumah ya, nak?” pesan ibunya sebelum menutup pintu.

Aisha memandang kepergian ibunya sambil melambaikan tangan. Anak perempuan berusia delapan tahun itu masih tersenyum. Keadaan susah tidak membuatnya bersedih apalagi sampai putus asa. Dia ingat betul petuah yang selalu diucapkan ayah dan ibunya bahwa Tuhan itu maha pengasih dan penyayang. Aisha merasakan kebenaran dalam kata-kata itu. Meski keluarganya miskin tapi rumah mereka dipenuhi dengan kasih sayang dan kehangatan. Tuhan memang tidak memberi orang tua Aisha harta benda tapi Tuhan memenuhi hati mereka dengan perasaan kasih dan kesabaran yang luar biasa.

Aisha masih duduk dibalik jendela, memandang ke langit yang bersih tanpa awan. Semilir angin pagi menerpa wajah Aisha yang penuh dengan senyum, gambaran dari kebersihan hatinya. Puas memandangi langit, Aisha beringsut sedikit menggapai makanan yang terletak didekatnya. Cuma sepiring nasi putih, ikan asin goreng dan kerupuk. Aisha tersenyum lagi. Ini rezeki dari Tuhan bisik Aisha dalam hati. Dia bersyukur masih bisa makan meski seadanya, sementara di tempat lain ada orang yang mati kelaparan.

Selesai makan Aisha masih duduk di balik jendela. Tak ada lagi yang bisa dilakukannya selain memandang keluar rumah. Melihat orang-orang yang lewat di gang kecil depan rumah atau menatap ayam dan kucing tetangga yang melintas di halaman. Tapi diantara semua itu, Aisha lebih suka memandang langit. Baginya langit itu menyimpan daya tarik yang luar biasa. Langit itu harapan, langit itu cita-cita. Aisha ingin terbang ke langit. Menari di antara awan, bulan, bintang dan matahari.

Agak siang sedikit, ibunya pulang ke rumah. Mencuci pakaian, piring kotor dan memasak. Aisha tak membantu, kali ini dia merebahkan diri di dipan kayu yang diletakkan di dekat jendela. Ketika selesai masak, ibunya menyuapi Aisha makan. Siang ini menunya agak istimewa, ada tumis kangkung dan telur dadar.

“Kita makan enak hari ini, mak?” tanya Aisha gembira.

“Iya, tadi mamak baru terima gaji. Jadi mamak bisa masak enak.” ibu Aisha tersenyum

Selesai makan disuapi ibunya, Aisha kembali merebahkan tubuhnya di dipan kayu. Mendengarkan ibunya mendongeng hingga akhirnya dia tertidur. Tuhan itu maha pengasih dan penyayang bisik ibunya ke telinga Aisha sebelum beranjak pergi meninggalkan anaknya itu dan kembali ke rumah majikannya untuk menyeterika pakaian yang dicucinya tadi pagi. Sedangkan Aisha lelap dalam kedamaian hatinya.

Sore hari ayah pulang kerja, Aisha melambai-lambaikan tangannya dari balik jendela menyambut kepulangan sang ayah. Kini mereka berkumpul lagi setelah seharian ayah sibuk bekerja mencari nafkah. Aisha sangat bahagia berada di tengah-tengah orang tuanya. Selama ini merekalah orang-orang yang dekat dengan Aisha. Tak ada yang lain, tak ada sahabat. Meski sebenarnya dia ingin keluar rumah dan bermain dengan anak tetangga. Tapi Aisha cuma jadi bahan olok-olok anak tetangga disekitar rumah, akhirnya dia lebih memilih tinggal di rumah saja.

Malam hari setelah makan, ayah dan ibu berbincang serta bercengkerama dengan Aisha. Mereka tertawa bahagia. Kemiskinan tidak membuat mereka bersedih. Bahagia itu adanya di hati bukan dalam harta benda. Kalau hati kita lapang, kesusahan seberat apa pun tak akan terasa berat. Ayah dan ibu Aisha selalu menanamkan petuah-petuah bijak ke dalam hati anaknya itu.

”Sudah mengantuk, Aisha?” tanya ayah dengan lembut.

Aisha mengangguk.

“Aisha ingin tidur dan bermimpi indah.” ujarnya pelan.

Ayah lalu menggendong Aisha masuk ke dalam kamar yang sempit dan membaringkan anaknya itu di kasur tipis. Aisha memang tidak bisa berjalan. Sejak usia setahun kaki Aisha tidak tumbuh secara normal. Dokter mengatakan Aisha terkena polio. Tulang kakinya mengecil dan tak bisa berfungsi. Aisha lumpuh sejak kecil. Karena ketidaktahuan orang tuanya, sejak lahir Aisha tidak diberikan oral poliomyelitis vaksin yaitu vaksin tetes untuk mencegah penyakit polio atau lumpuh layu.

“Tidurlah, sayang..” ujar ayah lembut sambil membelai kepala Aisha.

“Terima kasih, ayah.” Aisha tersenyum.

“Aisha ingin mimpi apa nanti?” tanya ayah.

“Terbang ke langit.” jawab Aisha senang.

“Berdoalah supaya Tuhan memberikan mimpi indah malam ini.” ujar ayah lagi.

Aisha tersenyum memandang ayah. Ayah beranjak keluar dari kamar, dia berharap anaknya bermimpi indah malam ini. Bukankah Tuhan pemilik kehidupan yang nyata dan gaib?

“Ya, Rabb… ya, Tuhanku. Engkau maha pengasih dan penyayang . Maka kasihi dan sayangilah ayah dan emak sebagaimana mereka mengasihi Aisha. Ya, Rabb… malam ini Aisha ingin bermimpi terbang ke langit. Kabulkan, ya? Amin…” setelah berdoa Aisha pun memejamkan matanya.

Doa dari bibir mungil Aisha yang selalu bersabar dalam cobaan yang berbentuk penderitaan itu, juga turut diaminkan oleh ribuan malaikat penjaga langit. ***





Jumat, 03 April 2009

Cerita Anak

Aina dan Amira

Aina dan Amira adalah dua gadis cilik yang ditakdirkan lahir sebagai kembar identik. Semuanya nyaris sama, dari bentuk wajah, warna kulit juga sifatnya. Kalau Aina suka pada warna biru, Amira pun begitu. Bila Aina merasa sedih atau gembira, Amira juga ikut merasakannya. Mereka seolah satu walau dalam wujud yang terpisah. Sejak dari buaian sampai berusia tujuh tahun sekarang ini, mereka tak pernah berjauhan. Disekolahpun mereka selalu duduk sebangku.

Papa dan Mama sangat sayang pada Aina dan Amira begitu juga dengan teman-teman disekolah serta para tetangga. Karena bagi mereka anak kembar itu menarik. Aina dan Amira kerap membuat orang-orang yang melihatnya terpukau bahkan kadang-kadang nyaris terpedaya. Mana Aina dan mana yang Amira? Semuanya nyaris sama, kalau bicara suara mereka juga terdengar serupa. Hanya Mama dan Papa saja yang bisa mengenali mereka secara pasti. Itupun kalau tanda lahir dipangkal lengan Aina kelihatan, kalau tidak Mama dan Papa juga sedikit kesusahan membedakan kedua putri kembarnya itu.

Pernah Mama menerapkan peraturan agar Aina dan Amira tidak memakai pakaian yang sama mode dan warnanya serta merubah bentuk rambut mereka. Aina berambut pendek sedangkan Amira berambut panjang dan berponi. Tapi kedua anak kembar itu protes dan tak mau dibedakan satu sama lainnya. Karena Mama memaksa terus akhirnya Aina dan Amira jatuh sakit. Tubuh mereka panas tinggi sehingga membuat Mama jadi kalang kabut. Papa yang sedang berada dikantor terpaksa dipanggil pulang.

Sejak saat itu Mama tidak punya keinginan lagi untuk merubah penampilan Aina dan Amira agar terlihat beda. Ini memang sudah ketentuan dari sang pencipta, bisik Mama dalam hati. Bersyukur saja dan terima apa adanya. Mama tak merasa keberatan meskipun sedikit kesusahan mengenali kedua putri kembarnya itu. Mana Aina dan mana yang Amira?

“Masa sih, Jeng Lilis tidak bisa membedakan anak sendiri?” tanya Bu May tetangga sebelah rumah.

“Memang saya tidak bisa, Bu May. Meski naluri seorang Ibu hampir selalu benar tapi hal itu tak berlaku pada saya. Kalau mereka dihadapkan berdua, saya perlu waktu untuk mengenalinya. Itupun kadang-kadang salah. Saya pikir Aina, eh nggak taunya Amira.” Mama tersenyum mengakui kelemahannya.

“Jadi bagaimana cara Jeng Lilis mengenali mereka secara pasti?” tanya Bu May lagi.

“Saya panggil namanya. Siapa yang datang berarti dialah orangnya.” jawab Mama jujur.

“Kalau mereka datang berdua?” kejar Bu May penasaran.

“Saya sudah bikin peraturan. Siapa yang dipanggil dia yang harus datang.” Jawab Mama terus terang.

“Kalau mereka berbohong dan bertukar tempat, bagaimana? Dipanggil Aina tapi yang datang Amira?” selidik Bu May.

“Setahu saya mereka tak pernah begitu, Bu May. Atau kalau saya merasa tidak yakin, saya minta diperlihatkan tanda lahir dipangkal lengan mereka. Kalau ada bulatan kecil berwarna biru, itu berarti Aina dan kalau tidak ada dialah Amira.” urai Mama panjang lebar.

“Agak repot juga ya, Jeng?” Bu May meringis.

“Ya, tapi saya senang punya anak kembar. Mereka membuat saya semakin takjub pada kekuasaan Tuhan.” senyum Mama mengembang.

Selagi Mama dan Bu May berbincang diberanda, Amira melintas dari halaman samping menuju pintu gerbang rumah.

“Mau kemana, Aina?” tegur Mama.

“Aina dikamar, Ma. Ini Amira.”

Mendengar jawaban itu Bu May tertawa. Mama cuma senyum-senyum saja.

“Ya, Amira mau kemana?” tanya Mama lagi.

“Ke mini market depan, Ma. Beli stabilo untuk sekolah.” Jawab Amira.

“Ya, sudah.Hati-hati nyeberang jalan.” Mama mengingatkan.

Setelah Mama melupakan keinginannya untuk mencari perbedaan diantara Aina dan Amira, disaat itu pula Mama menemukan sesuatu yang selama ini luput dari perhatiannya. Ternyata ditengah kesulitan, Tuhan memberikan kemudahan. Sekali lagi Mama merasakan betapa Tuhan itu maha bijaksana dan tak mau mempersulit hambaNya. Kejadian itu terjadi pagi tadi ketika Aina minta bantuan Mama untuk menguncir rambutnya dengan memasang pita.

“Nah, kalau begini Aina tambah cakep kan, Ma?” Aina tersenyum setelah Mama selesai menguncir rambutnya.

Saat itu Mama melihat dengan jelas ada lesung pipi disebelah kanan pipi Aina, tapi dibagian sebelah kiri tidak ada. Jadi lesung pipi Aina cuma sebelah.

“Ma, rambut Amira dikuncir juga, ya?” Amira datang dengan tergesa.

Mama memperhatikan wajah Amira dengan seksama.

“Kenapa, Ma?” tanya Amira heran karena dipandangi seperti itu.

“Tidak apa-apa, sini Mama kuncir rambutnya.” Mama meraih pundak Amira.

Setelah selesai dikuncir, Amira tersenyum pada Mama.

“Terima kasih Mama.”

Mama terperangah. Kali ini dia melihat ada lesung pipi disebelah kiri pipi Amira. Sama seperti Aina, lesung pipi Amira juga cuma sebelah. Mama melihat lesung pipi Aina disebelah kanan sedangkan Amira disebelah kiri.

“Subhanallah!” gumam Mama merasa takjub.

“Kenapa, Ma?” tanya Aina dan Amira serempak.

“Tidak apa-apa, sayang.” Mama memeluk kedua putri kembarnya itu dengan perasaan haru dan bahagia.

Ketika Mama membicarakannya pada Papa, lelaki itu tersenyum senang tapi matanya berkaca-kaca. Berulang kali dia mengucap syukur dalam hati.

“Itulah kekuasaan Tuhan yang selama ini luput dari perhatian kita.” ujar Papa penuh kearifan.

Tuhan memang tak pernah memberatkan dan menyusahkan hambaNya. Ditengah kesulitan Mama dan Papa untuk mengenali dan membedakan kedua putri kembarnya, Tuhan yang maha pengasih dan penyayang itu memberikan kemudahan pada mereka untuk memastikan mana Aina dan mana yang Amira, melalui lesung pipi yang masing-masing cuma sebelah. Aina di kanan dan Amira di kiri. Ternyata semakin tumbuh besar, wajah kedua putri kembar itu semakin terbentuk dan menampakkan perubahan dengan munculnya lesung pipi yang mungkin selama ini belum terlihat.

“Mama repot punya anak kembar seperti kami, ya?” tanya Aina malam itu ketika Mama mengantarkan mereka pergi tidur.

“Kenapa Aina tanya begitu?” Mama heran mendapat pertanyaan seperti itu.

“Karena Mama kesusahan mengenali kami, kan?” timpal Amira.

“Tidak sayang, kalian terlihat sama tapi ada juga bedanya. Mungkin selama ini luput dari perhatian Mama dan Papa atau karena memang baru muncul sekarang.” jawab Mama sambil tersenyum.

“Apa bedanya, Ma?’ tanya Aina penasaran.

“Kalian masing-masing punya lesung pipi tapi cuma sebelah. Aina di kanan dan Amira di kiri.” ujar Mama menerangkan.

Aina dan Amira saling pandang. Mereka seperti bercermin. Bagai pinang dibelah dua. Tuhan memang sang pencipta yang serba maha dan tak ada yang mustahil bagiNya. Anak kembar itu adalah bentuk anugerah yang dilipat gandakan olehNya. Maka berbahagialah…***







Rabu, 25 Maret 2009

Cerita Anak

Tas Sekolah Diana

Kadang-kadang aku merasa iri dengan sponge bob biru soalnya dia bernasib baik. Apa sebab? Sebabnya adalah, sponge bob biru dimiliki oleh Nirina. Anak itu sangat rajin merawat dan menjaga sponge bob biru. Pokoknya mereka sangat harmonis. Pergi sekolah sponge bob selalu dibawa dan dipercaya untuk menyimpan semua peralatan belajarnya Nirina. Kalau pulang sekolah sponge bob biru selalu diletakkan di atas meja belajar dengan baik-baik. Uh! Beruntungnya sponge biru. Sedangkan aku?

Oya, perkenalkan. Namaku sponge bob kuning temannya sponge bob biru. Kami berdua adalah tas sekolah yang cantik. Banyak anak-anak yang suka pada kami dan merengek-rengek minta dibelikan sama Mamanya. Tapi setelah dibelikan, ada juga yang berlaku kasar dan tidak menyayangi kami. Contohnya aku, sponge bob kuning. Nasibku memang jelek karena jatuh ketangan anak nakal dan malas seperti Diana. Tidak seperti Nirina yang baik dan sayang pada sponge bob biru, Diana selalu mencampakkan aku sembarangan kalau sudah pulang sekolah . Kadang-kadang di atas tempat tidur, di lantai kamar tapi lebih sering dikolong tempat tidur.

Aku sponge bob kuning dan sahabtku sponge bob biru sudah sebulan tinggal di rumah keluarga ini. Kami tahu betul kalau dua orang anaknya, Nirina dan Diana seperti langit dengan bumi. Nirina baik, Diana nakal. Nirina rajin, Diana pemalas. Pokoknya sipat mereka sangat bertolak belakang, seperti siang dan malam. Aku menyesal kenapa harus jatuh ketangan Diana. Tapi apalah dayaku, aku cuma sebuah tas sekolah?

“Diana, kenapa tidak pakai tas sekolah?” tegur Mama pagi itu.

“Malas, Ma. Tas Diana kotor, bau apek lagi!” Diana beralasan.

“Itu karena kamu selalu menaruh tas sembarangan. Ya, kena debu, ketumpahan kuah bakso, kena saus tomat, kena kecap. Tas kamu itu sudah seperti kain lap!” Mama merepet pada Diana.

“Sudah begitu Diana malas mencuci tasnya. Apa nggak bau apek?” Nirina ikut-ikutan berkomentar.

“Makanya kalau kak Nirina mencuci tas, sekalian dong cucikan tas Diana.” ujar Diana enteng.

“Suapaya kamu jadi tambah pemalas?” ejek Nirina pada Diana.

Pagi itu lagi-lagi aku tidak ikut ke sekolah. Diana tak mau membawaku karena kotor dan berbau apek. Beda sekali dengan sponge bob biru . Dia terlihat bersih, rapi dan wangi. Soalnya minggu kemarin dia baru dicuci oleh Nirina, dikasih pengharum lagi. Ah, segarnya… sedangkan aku, tubuhku kotor oleh bercak-bercak saus tomat, kecap bercampur kuah bakso dan debu yang menempel. Uh! Bau apek!

Pulang sekolah siang itu, Diana menangis dan Mamanya marah-marah. Aku cuma mendengarkannya dari kolong meja. Ada apa, ya? Aku bertanya-tanya sendiri.

“Itu gunanya pakai tas, jadi buku-buku dan peralatan sekolah tidak tercecer kemana-mana. Sekarang baru kamu tahu rasa, kan? Crayon yang baru dibeli jatuh kedalam parit sekolah!” suara Mama Diana terdengar marah.

Oh, crayon Diana jatuh ke parit? Coba kalau tadi dia memasukkan crayon itu kedalam tas. Pasti aman dan tidak tercecer atau jatuh kemana-mana.

“Itu gara-gara tas sponge bob !” Diana masuk kedalam kamar.

Aduh! Diana menendang dan menginjakku.

“Tas itu tidak salah, kamu yang salah!” Mama memarahi Diana .

Aduh! Sekarang Diana mencampakkan aku keluar kamar.

“Kalau kamu tidak mau tas itu, biar nanti Mama kasih buat anak Bik Karti!” teriak Mama marah.

Aku senang mendengar Mamanya Diana akan memberikanku pada anak Bik Karti. Setahuku anak Bik karti itu rajin dan pembersih. Kalau aku ada ditangannya pasti nasibku akan berubah. Karena aku sebuah tas yang cantik, rasanya pantas mendapat perlakuan yang baik. Sekarang ini aku kotor dan bau apek. Itu semua karena Diana yang jorok dan pemalas. Kaus kakinya saja bau terasi. Apa kalian mau, pergi sekolah dengan tas yang bau apek dan kaki yang bau terasi? Tentu tidak, kan?

Aduh! Kali ini Diana menendangku kearah dapur..

“Mau kamu apakan tas itu, Diana?!” tegur Mama marah.

“Dibuang ke tempat sampah!” teriak Diana.

“Sini! Biar Mama kasih untuk Siti anaknya Bik Karti.” Mama Diana memungutku dari lantai.

Ah, senangnya. Aku akan terbebas dari cengkeraman Diana yang jorok itu.

“Siapa juga yang mau sama tas bau apek begitu!” cibir Diana sinis.

Mama Diana membawaku ke rumah Bik Karti yang tidak begitu jauh dari rumah mereka. Bik Karti adalah tukang cuci di keluarga Diana dan Siti anaknya selalu ikut membantu bersih-bersih di rumah Diana setiap hari minggu.

“Bik Karti, Siti mana?” tanya Mama Diana.

“Oh, Nyonya. Itu, Siti lagi belajar.” jawab Bik Karti senang melihat majikannya datang berkunjung.

“Siti, ini tasnya dicuci yang bersih, ya? Ambil buat kamu.” ujar Mama Diana pada Siti.

“Ini kan tasnya Diana, Bu? Baru dibeli sebulan yang lalu, modenya bagus dan harganya mahal.” Siti terheran-heran kenapa tas itu diberikan padanya.

“Iya, tapi Diana tidak mau lagi memakai tas ini. Nih, ambil saja buat kamu.” Mama memberikan tas itu pada Siti.

“Ambillah, nak.” Bik Karti mengangguk tanda setuju kalau Siti menerima saja pemberian itu.

“Terima kasih ya, Bu?” Siti mengambil tas itu dari tangan Mama Diana.

Uf! Sekarang aku sudah berada ditangan Siti. Selamat tinggal Diana yang jorok dan pemalas. Byuuurrr…. Siti merendamku dengan bubuk deterjen selama 30 menit. Setelah itu dia mengucek-ngucek noda kotor yang menempel ditubuhku dan membilasnya dengan air bersih. Kemudian aku direndam bersama larutan pewangi. Aaaahhh…. Segarnya. Ketika dijemur, warnaku berkilauan terkena cahaya matahari.

“Tas ini catik sekali…” gumam Siti senang memandangiku.

Besoknya ketika berjumpa dengan Diana di sekolah, anak itu memandangiku tak berkedip karena sekarang aku adalah sebuah tas bergambar sponge bob warna kuning yang cantik, bersih dan wangi. Siti sangat bangga menyandangku dipunggungnya. Hal itu membuat Diana jadi iri.

“Heh, Siti! Itu tas sponge bob aku, kan?”

“Iya, Mama kamu yang ngasih. Kenapa, kamu mau mengambilnya lagi?” tanya Siti.

Diana terdiam. Dipandanginya lagi tubuhku yang berbentuk tas sponge bob yang menempel dipunggung Siti.

“Tas itu kamu cuci, ya?” tanya Diana.

“Makanya kalau punya tas harus rajin-rajin merawatnya. Cuma dicuci saja dia sudah berubah seperti baru. Tidak repot, kan?” Siti tersenyum.

Diana pergi tanpa biacara apa-apa lagi. Aman, aku tidak jadi diambil sama Diana, anak pemalas dan jorok itu. Lagipula aku sudah diberikan pada Siti, jadi Diana tidak punya hak lagi untuk mengambilku. Apakah kalian punya tas sekolah? Pernah dicuci belum? Ayo, cuci sekarang!***

Jumat, 06 Maret 2009

Puisi 1
















Duhai...

Duhai, anak-anakku
tak tega rasanya
mewariskan hujan asam
di pagi harimu
dan
berat hati ini
melihat kau menghirup
udara tercemar polutan

Duhai, anak-anakku
kemana lagi kucari tempat
untuk menina bobokkan mu

Puisi 2

Wahai

Engkaulah
buah hati sibiran tulang
wahai anak-anakku terkasih
yang tertatih-tatih
dari Sabang sampai Merauke
di mata beningmu aku berkaca
ketika lautan menenggelamkan
separuh bumi
saat wajah mungilmu
legam terpanggang matahari yang marah

Bumi memang tak nyaman lagi
untukmu sayangku
ikutlah kekuburku
dan
tidur nyenyak bersamaku




Nuansa Bening


Hamparan Kehidupam