Launching Buku Sang Penanti

Launching Buku Sang Penanti
City Ice Cream Cafe, Plaza Medan Fair

Kamis, 24 September 2009

Rabu, 23 September 2009

Cerita Anak

Aku dan Sepatu Rombeng

Namaku Arif siswa kelas enam sekolah dasar. Setiap pagi aku pergi ke sekolah dengan berjalan kaki. Agak jauh memang dan sering kali aku sampai di sekolah dengan baju seragam yang basah oleh keringat. Aku tak pernah mengeluh atau keberatan harus menempuh jarak dengan berjalan kaki, bahkan menurut ayah dan ibuku hal itu bisa membuat tubuhku sehat. Tapi yang membuatku sedih adalah karena sepatu sekolahku yang sudah rombeng. Koyak di sana sini dengan tapak yang miring karena sudah menipis karena terlalu lama dipakai. Jari kakiku selalu menyembul dari robekan di ujung sepatu.

Aku bersedih untuk kaki dan sepatuku itu. Kaki yang seharusnya nyaman dibungkus oleh sepasang sepatu bagus tapi malah sering menahan perih karena lecet. Penyebabnya adalah sepatu yang kukenakan lapis bagian dalamnya sudah terkelupas semua, hingga kain sepatu yang kasar bersentuhan langsung dengan kulit kakiku. Bayangkanlah kalau setiap hari dibawa berjalan pergi dan pulang sekolah, tidakkah kaki akan melepuh karena lecet tergesek kain sepatu yang kasar?

Aku juga bersedih kalau melihat sepatu rombengku. Seharusnya dia sudah di istirahatkan. Hampir dua tahun aku memakainya dari awal kelas lima sampai kelas enam sekarang ini. Mungkin kalau sepatuku bisa bicara pasti dia berteriak minta tolong, karena sudah tak mampu lagi melindungi kakiku. Ah, sepatuku memang sudah letih dan tugasnya sudah berakhir. Tapi kalau dia kubuang, bagaimana aku akan pergi ke sekolah? Bapak dan ibu guru pasti tidak memperbolehkan aku memakai sendal jepit. Minta dibelikan sepatu baru pada ayah?

Pernah aku memintanya, dulu sudah lama sekali. Waktu itu akhir kelas lima dan mau naik ke kelas enam.

“Ayah, beli sepatu yang baru, ya? Sepatu Arif yang ini sudah rombeng. Koyak dan bolong diujungnya.” ujarku meminta.

Ayah memandang sepatu yang kukenakan.

“Tapi masih bisa dipakai kan, Rif?”

“Masih, ayah…” jawabku berbohong.

Padahal betapa setiap hari aku harus menahankan perih akibat luka lecet di kakiku. Kalian pasti mengatakan aku bodoh, kenapa tidak memakai kaus kaki supaya tidak lecet? Ada, aku punya kakus kaki tapi kuberikan pada adikku Anggi karena sepatunya juga rombeng, aku tak tega melihat Anggi meringis menahan perih di kakinya. Lalu kaus kaki itu pun keberikan padanya. Lagipula aku anak laki-laki dan harus lebih kuat dari adikku yang perempuan. Aku senang melihat Anggi melangkah dengan nyaman karena mengenakan kaus kaki. Sebagai gantinya akulah yang harus menahan sakit bila berjalan pulang dan pergi sekolah.

Aku tau betul kenapa Anggi adikku yang duduk di kelas lima itu tidak punya kaus kaki. Ketika dulu membeli sepatu, kami berdua diajak ayah ke toko sepatu di pasar. Waktu itu uang ayah kurang untuk membayar dua pasang sepatu dengan kaus kakinya. Terpaksalah ayah membatalkan kaus kaki untuk Anggi. Aku tidak tau alasan ayah kenapa harus adik perempuanku yang tak memakai kaus kaki.

Aku tak pernah memaksa minta dibelikan sepatu baru meski pun sepatuku yang lama sudah rombeng. Aku tau ayah belum punya uang lebih untuk membelikan sepatu, untukku dan adikku. Tak apalah, aku akan bersabar. Ayahku bilang, Tuhan sayang sama orang yang sabar. Aku juga melihat betapa ayah adalah termasuk orang yang sabar. Tak pernah mengeluh meski harus bekerja keras menghidupi kami.

“Sepatu Arif rombeng! Sepatu Arif rombeng!” teriak anak-anak nakal di sekolahku.

Aku diam saja walau pun diejek dan ditertawakan seperti itu. Tapi banyak juga yang membelaku dan menegur anak-anak nakal itu untuk tidak mengejekku.

“Hei, kalian! Jangan mengejek Arif, ya?!” teriak Benny ketua kelasku yang badannya lebih jangkung.

Ah, Tuhan. Apa salahnya dengan sepatu rombeng ini? Kalau mereka tak suka, ya jangan dilihat. Kenapa harus mengejek seperti itu? Sedih juga hatiku. Tapi apa boleh buat orang tuaku memang miskin. Ayah betul, aku memang harus banyak-banyak bersabar.

“Arif, kau bisa membantu aku?” Anita teman sekelasku menghampiri di halaman sekolah.

“Bantu apa, Anita?” tanyaku heran.

“Kau pintar mengarang, kan?”

Aku terdiam. Anita melirik sepatu rombeng yang kukenakan. Dia tersenyum dan mengangguk-angguk.

“Kau perlu sepatu baru, Arif. Mau aku belikan?” Anita tersenyum lagi.

Aku tau kalau Anita memang anak orang kaya. Kalau hanya untuk membeli sepatu baru, orang tuanya pasti mampu bahkan yang bermerek mahal sekali pun.

“Aku mau ikut lomba mengarang yang diadakan oleh majalah anak terbitan Jakarta. Kau mau kan membuatkan karangan untukku? Nanti aku belikan kau sepatu. Bagaimana, kau mau?” ujar Anita padaku.

“Lomba mengarang?” tanyaku penasaran.

“Iya, tapi persyaratannya banyak. Kau harus mengisi formulir yang ada di majalah itu. Kau punya uang beli majalah, punya komputer untuk mengetik, punya uang untuk mengirimkan karangan lewat pos?” ujar Anita bertubi-tubi.

“Ah, aku tak bisa mengetik. Apalagi di komputer.” jawabku jujur.

“Aku bisa, di rumahku ada komputer. Kau menulis karangan di buku tulis, biar nanti aku yang mengetiknya.” tawar Anita.

“Kau kan bisa mengarang juga, Anita. Kenapa menyuruh aku?”

“Tapi kau juara mengarang di sekolah kita.” ujar Anita memujiku.

“Tapi kalau kulakukan, itu berbohong namanya.” aku menolak tawaran Anita.

“Sekali-sekali tidak apa-apa, lagipula siapa yang rugi? Karanganmu kutukar dengan sepasang sepatu baru. Adil, kan?” Anita tersenyum lagi.

Aku menunduk, menatap sepatu rombeng yang warnanya semakin kusam, kainnya sobek dan bolong-bolong. Hanya dengan sebuah karangan yang kutulis untuk Anita, aku akan mendapat imbalan sepasang sepatu baru. Ah, mudah sekali.

“Bagaimana, setuju?” ujar Anita memandangku.

Terbayang wajah ayah dan ibu. Wajah-wajah letih yang sangat kuhormati itu. Meski hidup susah mereka tak pernah mau berbohong apalagi sampai menipu orang. Tak apa kakiku luka karena memakai sepatu rombeng asal jangan hati ayah dan ibu yang luka karena mengetahui kalau aku jadi pembohong dan penipu.

“Arif?” suara Anita mengejutkanku.

“Maaf, Anita. Aku tak bisa.”

“Tidak ingin sepatu baru?” goda Anita.

Aku menggeleng dan pergi meninggalkan Anita. Menyeret langkahku yang terasa perih karena kulit kaki yang lecet dan melepuh, membuat jalanku jadi terpincang-pincang. Aku terus menyeret langkah meninggalkan halaman sekolah, menjauhi Anita yang masih berdiri di sana.

“Sepatu Arif rombeng! Sepatu Arif rombeng!”

Anak-anak nakal itu menyoraki dibelakangku. Mereka ikut berjalan terpincang-pincang menirukan langkahku yang pincang karena menahankan perih akibat kakiku yang melepuh. Aku terus melangkah tanpa menghiraukan ejekan mereka. Tak ada gunanya marah karena memang benar sepatuku rombeng. Bersabar sajalah, itu lebih baik***


Harian Global, Edisi Sabtu 12 September 2009

Selasa, 22 September 2009


Lebaran Itu Berbagi

Malam takbiran telah menjelang, seleas maghrib lantunan takbir mengumandang dari seluruh masjid dan musholla. Malam pun semakin semarak dengan puji-pujian mengagungkan nama Tuhan. Sepulang dari sholat maghrib di masjid, Fauzi bergegas pulang ke rumah dengan mengajak Alif teman barunya.

“Kita mau kemana, Zi?” tanya Alif heran.

“Ayolah, kita kerumahku.” ajak Fauzi.

Sebetulnya Alif ingin tetap tinggal di masjid untuk mengikuti takbiran sampai sholat isya. Tapi karena Fauzi berjanji tak akan lama dan mereka akan kembali lagi ke masjid untuk melaksanakan sholat isya dan ikut takbiran sampai tengah malam. Maka Alif pun bersedia mengikuti Fauzi.

“Kerumahmu kita mau ngapain, Zi?’ tanya Alif sambil melangkah di samping Fauzi.

“Nanti juga kau tau, Lif.” jawab Fauzi sambil tersenyum.

Sesampainya di rumah Fauzi, Alif langsung di bawa masuk ke kamar Fauzi yang besar, rapi dan bagus. Baru sekali ini Alif masuk ke kamar Fauzi. Dia nampak terkagum-kagum melihat isi kamar sahabat barunya itu. Memang sudah beberapa kali dia main ke rumah Fauzi tapi hanya di beranda saja. Alif sungkan di ajak masuk ke dalam rumah, soalnya dia baru saja bersahabat dengan Fauzi karena memang Alif dan keluarganya baru dua minggu pindah menjadi tetangga keluarga Fauzi.

Fauzi membuka lemari pakaiannya yang besar dan dipenuhi oleh pakaian-pakaian bagus.

“Lif, pilih yang mana saja kau suka.” ujar Fauzi menawarkan.

“Maksudnya, Zi?” Alif teheran-heran.

“Buat kau, Lif. Semua ini memang bukan pakaian baru tapi masih bagus-bagus dan layak pakai. Ayolah, ambil saja berapa pun kau mau. Oya, aku juga punya koleksi baju koko, ambillah untuk kau pakai sholat ied besok pagi.” Fauzi mengambil bebera stel baju koko dan menaruhnya di atas tempat tidur supaya Alif bebas memilihnya.

“Ukuran kita sama, Lif. Kau juga pasti bisa memakainya.” jelas Fauzi.

Alif terdiam. Memang sudah lama dia kepingin memakai baju koko seperti kepunyaan Fauzi. Tapi harganya memang mahal, selama ini Alif hanya dibelikan baju koko yang biasa saja dan murah harganya. Sekarang dia ditawari baju koko yang bagus dan mahal oleh Fauzi, sahabat barunya. Alif merasa sungkan.

“Kalau begitu ambil yang ini buat kau, Lif.” Fauzi memilihkan dua stel baju koko warna biru dan coklat muda untuk Alif.

Malam itu di kamar Fauzi, Alif seolah-olah berada di mal sedang berbelanja pakaian untuk lebaran. Fauzi memilihkan pakaian-pakaian yang bagus untuknya. Dua stel baju koko, tiga stel kemeja dan celana panjang jins serta lima potong kaus oblong yang masih bagus-bagus. Alif juga di kasih sendal kulit dan sepasang sepatu yang nampak seperti baru.

“Daripada jarang di pakai, kan lebih bagus kuberikan untuk kau, Lif. Mubazir kalau disimpan-simpan terus.” ujar Fauzi menjelaskan.

Alif masih terdiam dan tak bisa berkata-kata. Dia hanya memandangi Fauzi yang sibuk melipat dan memasukkan pakaian-pakaian itu ke dalam tas belanjaan bermerek toko terkenal.

“Ini bekas tas belanja waktu kemarin aku beli pakaian bersama mama.” ujar Fauzi menerangkan.

“Terima kasih telah memberiku sebanyak ini, Zi.” akhirnya Alif bersuara juga.

“Asal kau senang menerimanya, aku lebih merasa senang.” Fauzi tersenyum.

“Kau baik sekali, Zi. Padahal kita baru beberapa hari saja berteman.”

“Mamaku bilang kita harus berbuat baik pada orang yang tidak kita kenal sekali pun. Apalagi dengan teman sendiri?” Fauzi tertawa.

“Oh ya, apa orang tuamu tau kalau kau memberikan pakaian-pakaian ini untukku?” tanya Alif khawatir.

“Sudah, mamaku juga mau bertemu denganmu. Nanti setelah ini kita jumpai mamaku, ya?”

Selesai membungkus semua pakaian, sepatu dan sendal, Fauzi memberikannya pada Alif.

“Terima kasih ya, Zi?” Alif menerima pemberian Fauzi. Ada rasa haru melintas dihatinya. Beginilah indahnya persahabatan itu, suka duka di bagi bersama.

Di dapur, mama Fauzi sedang sibuk membantu bik Karsih memasak ketupat, opor ayam, sambal goreng hati dan tauco udang telur puyuh. Tradisi makan ketupat di pagi hari lebaran juga berlaku di tengah keluarga Fauzi.

“Ma, ini Alif.” ujar Fauzi ketika menemui mama di dapur.

“Oh, nak Alif. Ayo, kita ke depan.” mama bergegas meninggalkan dapur.

Fauzi dan Alif menunggu di ruang tamu. Sesaat kemudian mama datang dengan membawa amplop ditangannya.

“Nah, ini untuk jajan lebaran Alif, ya? Dan ini yang satu lagi kasih untuk adikmu. Namanya Mira, kan?”

“Minah, bu.” gumam Alif pelan.

“Oh ya, Minah. Bilang ini untuk jajan lebarannya.” mama memberikan amplop ke tangan Alif.

“Terimakasih, bu.” Alif menyalami dan mencium tangan mama Fauzi.

Malam itu Alif merasakan kebaikan bulan ramadhan. Di tengah kesulitan, Allah pasti memberikan kemudahan. Alif mensyukuri apa yang diterimanya malam ini. Alif pulang ditemani Fauzi, setelah menyimpan semua bungkusan berisi pakaian-pakaian, sepatu dan sendal dirumahnya, Alif dan Fauzi kembali menuju masjid. Sebentar lagi waktu sholat isya. Sementara itu gema takbir masih terdengar bersahut-sahutan. Langit cerah bertabur bintang, seluruh alam semesta bertakbir. Memuji-muji, Allah maha besar, Allah maha besar.***

Harian Global, edisi Sabtu 12 September 2009